Selasa, 17 Mei 2011

Al-Syaibani dan Ekonomi Islam


Al-Syaibani dan Ekonomi Islam
Oleh : Zainur Rahman

1.      Biografi
Nama lengkap Al-Syaibani adalah Abu Abdillah Muhammad bin al-Hasan bin Farqad al-Syaibani. Beliau lahir pada tahun 132 H (750M) di kota Wasith, Ibu Kota Iraq pada masa akhir pemerintahan Bani Umawiyyah. Ayahnya berasal dari negeri Syaiban di wilayah jazirah Arab[1]. Di kota Kufah ia belajar fikih, sastra, bahasa dan hadits kepada para ulama setempat, seperti Mus’ar bin Kadam, Sufyuan Tsauri, Umar bin Dzar dan Malik bin Maghul. Pada periode ini pula, Al-Syaibani yang baru berusia 14 tahun berguru kepada Abu Hanifah selama 4 tahun. Setelah itu ia berguru kepada Abu yusuf, salah seorang murid terkemuka dan pengganti Abu Hanifah, hingga keduanya tercatat sebagai penyebar mazhab Hanafi.[2]
Dalam menuntut ilmu, Al-Syaibani tidak hanya berinteraksi dengan para ulama ahl al-ra’yi, tetapi juga ulama ahl al-hadits. Ia layaknya para ulama terdahulu, berkelana ke berbagai tempat, seperti Madinah, Makkah, Syria, Basrah dan Khurasan untuk belajar kepada para ulama besar, seperti Malik bin Anas, Sufyan bin ‘Uyainah dan Auza;i. ia juga pernah bertemu dengan Al-Syafi’I ketika belajar al-Muwatta pada Malik bin Anas. Hal tersebut memberikan nuansa baru dalam pemikiran fiqihnya.
Setelah memperoleh ilmu yang memadai, Al-Syaibani kembali ke Baghdad yang pada saat itu telah berada dalam kekuasaan Daulah Bani Abbasiyah. Di tempat ini ia mempunyai peranan yang penting dalam majelis ulama dan kerap didatangi para penuntut ilmu. Hal tersebut semakin mempermudahnya dalam mengembangkan mazhab Hanafi, apalagi ditunjang kebijakan pemerintah saat itu yang menetapkan mazhab Hanafi sebagai mazhab Negara.
Akibat keluasan ilmunya, Khalifah Harun Al-Rasyid mengangkatnya sebagai hakim di kota Riqqah, Irak. Namun, tugas ini hanya berlangsung singkat karena ia kemudian mengundurkan diri untuk lebih berkonsentrasi pada pengajaran dan penulisan fiqih. Al-Syaibani meninggal dunia pada tahun 189H (804M) di kota al-Ray, dekat Teheran, dalam usia 58 tahun[3].
2.      Pemikiran Ekonomi Hasan Asy Syaibani
a.      Al-Kasb (Kerja)
Dalam kitab Al-Kasb (Kerja) ini, asy-Syaibani mendefinisikan al-Kasb (kerja) sebagai mencari perolehan harta melalui berbagai cara yang halal. Dalam ilmu ekonomi, aktivitas demikian termasuk dalam aktivitas produksi. Definisi ini mengindikasikan bahwa yang dimaksud dengan aktivitas produksi dalam ekonomi Islam adalah berbeda dengan aktivitas produksi dalam ekonomi konvensional[4].
Produksi suatu barang atau jasa, seperti yang dinyatakan dalam ilmu ekonomi, dilakukan karena barang atau jasa itu mempunyai utilitas (nilai-guna). Islam memandang bahwa suatu barang atau jasa mempunyai utilitas jika mengandung kemaslahatan. Seperti yang diungkapkan oleh Al-Syatibi, kemaslahatan hanya dapat dicapai dengan memelihara lima unsur pokok kehidupan, yaitu agama, jiwa, akal dan harta[5]. Dengan demikian seorang muslim termotivasi untuk memproduksi setiap barang atau jasa yang memiliki maslahah tersebut. Hal ini berarti bahwa konsep maslahah merupakan konsep yang objektif terhadap perilaku produsen karena ditentukan oleh tujuan (maqasid) syari’ah.Pandangan Islam tersebut tentu jauh berbeda dengan konsep ekonomi.  Dalam ekonomi konvensional, nilai guna suatu barang atau jasa ditentukan oleh keinginan (wants) orang per orang dan ini bersifat subjektif[6].
Dalam pandangan Islam, aktivitas produksi merupakan bagian dari kewajiban ‘imaratul kaum, yakni menciptakan kemakmuran semesta untuk semua makhluk. Berkenaan dengan hal tersebut , Al-Syaibani menegaskan bahwa kerja yang merupakan unsur utama produksi mempunyai kedudukan yang sangat penting kehidupan karena menunjang pelaksanaan ibadah kepada Allah SWT dan karenanya, hukum bekerja adalah wajib. Hal ini didasarkan pada dalil-dalil berikut:
Firman Allah SWT.
Artinya: “ Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung”. (Al-Jumu’ah 62:10)
Hadits Rasulullah SAW.
Artinya: “ Mencari pendapatan adalah wajib bagi setiap muslim”.
Lebih jauh ia menguraikan untuk melaksanakan berbagai kewajiban, seseorang memerlukan kekuatan jasmani dan kekuatan jasmani itu sendiri dapat diperoleh dengan mengkonsumsi makanan yang di dapat dari hasil kerja keras.
Asy-Syaibani juga menyatakan bahwa bekerja merupakan ajaran para rasul terdahulu dan kaum muslimin diperintahkan untuk meneladani cara hidup mereka[7]. Dari uraian tersebut, tampak jelas bahwa orientasi bekerja dalam pandangan Al-Syaibani adalah hidup untuk meraih keridhaan Allah SWT. Di sisi lain, kerja merupakan usaha untuk mengaktifkan roda perekonomian, termasuk proses produksi, konsumsi dan distribusi yang berimplikasi secara makro meningkatkan pertumbuhan ekonomi suatu negara.
b.      Kekayaan dan Kefakiran[8]
Menurut Asy-Syaibani walaupun telah banyak dalil yang menunjukkan keutamaan sifat-sifat kaya, sifat-sifat fakir mempunyai kedudukan yang lebih tinggi. Ia menyatakan apabila manusia telah merasa cukup dari apa yang dibutuhkan kemudian bergegas pada kebajikan, sehingga mencurahkan perhatian pada urusan akhiratnya, adalah lebih baik bagi mereka. Dalam konteks ini, sifat-sifat fakir diartikan sebagai kondisi yang cukup (kifayah) bukan kondisi meminta-minta (kafafah). Dengan demikian Asy-Syaibani menyerukan agar manusia hidup dalam kecukupan baik untuk diri sendiri bukan keluarganya.
c.       Klasifikasi Usaha-usaha Perekonomian[9]
Asy-Syaibani membagi usaha perekonomian menjadi empat macam, yaitu sewa-menyewa, perdagangan, pertanian dan perindustrian. Dari keempat usaha perekonomian tersebut, Asy-Syabani lebih mengutamakan usaha pertanian. Menurutnya pertanian memproduksi berbagai kebutuhan dasar manusia yang sangat menunjang dalam melaksanakan berbagai kewajibannya.
Dari segi hukum Asy-Syaibani membagi usaha-usaha perekonomian menjadi dua, yaitu fardu kifayah dan fardu ‘ain.

d.      Kebutuhan-kebutuhan Ekonomi[10]
Al-Syaibani mengatakan bahwa sesungguhnya Allah menciptakan anak-anak Adam sebagai suatu ciptaan yang tubuhnya tidak akan berdiri kecuali dengan empat perkara, yaitu makan, minum, pakaian dan tempat tinggal. Para ekonom lain mengatakan bahwa keempat hal ini adalah tema ilmu ekonomi. Jika keempat hal tersebut tidak pernah diusahakan untuk dipenuhi, ia akan masuk neraka karena manusia tidak akan dapat hidup tanpa keempat hal tersebut.
e.       Distribusi Pekerjaan[11]
Imam Asy-Syaibani menyatakan bahwa manusia dalam hidupnya selalu membutuhkan yang lain. Asy-Syaibani menandaskan bahwa seorang yang fakir membutuhkan orang kaya dan orang kaya membutuhkan tenaga orang miskin. Dari hasil tolong menolong itu, manusia jadi lebih mudah dalam menjalankan aktivitas kepada-Nya. Dalam konteks dmikian, Allah berfirman (Al-Maidah/5:2):
Artinya: “… dan saling menolonglah kamu sekalian dalam kebaikan dan ketakwaan”
Lebih jauh Asy-Syaibani menyatakan bahwa apabila seseorang bekerja dengan niat melaksanakan ketaatan kepada-Nya atau membantu saudaranya untuk melaksanakan ibadah kepada-Nya, pekerjaan tersebut niscaya akan diberi ganjaran sesuai dengan niatnya. Dengan demikian, distribusi pekerjaan seperti yang di atas merupakan objek ekonomi yang mempunyai dua aspek secara bersamaan, yaitu aspek religius dan aspek ekonomis.


[1] Adimarwan Karim. Sejarah Pemikiran Ekonomi. (Jakarta: Raya Grafindo Persada, 2006), 231
[2] Ibid
[3] Ibid, 232
[4] Ibid, 234
[5] Asafri Jaya Bakri, Konsep Maqashid Syariah menurut asy-syatibi, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1996), 71
[6] Keterangan lebih lanjut lihat, Taqiyuddin Al-Nabhani, Membangun Sistem Ekonomi Alternatif Perspektif Ekonomi Islam. (Surabaya: Risalah Gusti, 1996) 1-46
[7] Surahman Hidayat, EtikaProduksi Dalam Islam, Rubrik Iqtishad Harian Umum Republika.  28 Oktober 2002
[8] Adimarwan Karim. Sejarah Pemikiran Ekonomi. (Jakarta: Raya Grafindo Persada, 2006), 237-238
[9] Ibid, 238
[10] Ibid, 239
[11] Ibid, 239-240

0 komentar:

Posting Komentar

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More