Rabu, 18 Mei 2011

Sistem Mudlarabah Dalam Ekonomi Syariah


Sistem Mudlarabah dalam Ekonomi Syariah
Oleh: Zainur Rahman

A.    Pengertian Mudharabah
Menurut bahasa, kata mudharabah berasal dari adh-dharbu fil ardhi, yaitu melakukan perjalanan untuk berniaga. Berikut Firman Allah Swt. Dalam Al-Quran:
Artinya: “Dia mengetahui bahwa akan ada di antara kamu orang-orang yang sakit dan orang-orang yang berjalan di muka bumi mencari sebagian karunia Allah; dan orang-orang yang lain lagi berperang di jalan Allah…………….” (Q.S. al-Muzzammil: 20)
Mudharabah disebut juga qiradh, berasal dari kata qardh yang berarti qath (sepotong), karena pemilik modal mengambil sebagian dari hartanya untuk diperdagangkan dan ia berhak mendapatkan sebagian dari keuntungannya.
Dari pengertian secara bahasa diatas, berarti Mudharabah secara istilah dapat diartikan, akad kerjasama antara pemilik dana (shahibul maal) dengan pengusaha (mudharib) untuk melakukan suatu usaha bersama. Keuntungan yang diperoleh dibagi antara keduanya dengan perbandingan nisbah (prosentase) yang disepakati sebelumnya. Sedangkan menurut Ulama’ Hijaz wahbah az-Zuhayli: pemilik modal menyerahkan hartanya kepada pengusaha untuk diperdagangkan dengan pembagian keuntungan yang disepakati dengan ketentuan bahwa kerugian ditangung oleh pemilik modal, sedangkan pengusaha tidak dibebani kerugian sedikitpun kecuali kerugian berupa tenaga dan kesungguhannya[1].
Tidak jauh beda definisi mudharabah menurut Afzalur Rahman dalam bukunya doktrin Ekonomi Islam mengatakan bahwa mudharabah adalah perkongsian berhad merupakan suatu kontrak perkongsian, kontrak ini berdasarkan prinsip kongsi untung, apabila seseorang individu lain untuk digunakan dalam perniagaan. Kemudian kedua-dua pihak akan berkongsi keuntungan ataupun kerugian menurut syarat-syarat yang telah dipersetujui secara matual[2].
Sedangkan mudharabah menurut Mervyn K. Lewis & Lativa M. Al-Qaoud adalah sebagai sebuah perjanjian diantara paling sedikit dua pihak dimana satu pihak, pemilik modal (shohibul mal) mempercayakan sejumlah dana kepada pihak lain, pengusaha (mudhorib), untuk menjalankan seuatu aktifitas atau usaha[3].
Dari beberapa definisi diatas dapatlah pemakalah simpulkan bahwa: Syirkah mudharabah mengharuskan ada dua pihak, yaitu pihak pemilik modal (shahibul maal) dan pihak pengelola (mudhorib). Pihak pemodal menyerahkan modalnya dengan akad wakalah kepada seseorang sebagai pengelola untuk dikelola dan dikembangkan menjadi sebuah usaha yang menghasilkan keuntungan (profit). Keuntungan dari usaha akan dibagi sesuai dengan kesepakatan, dan manakala terjadi kerugian bukan karena kesalahan manajemen (kelalaian), maka kerugian ditanggung oleh pihak pemodal.
B.     Sumber Dasar Hukum Mudharabah[4]
a.       Al Qur’an
Surat Al-Baqarah Ayat 275:
Artinya : Allah telah menghalalkan Jual beli dan mengharamkan riba...” (Q.S.Al-Baqarah: 275)

Surat Al-Baqarah Ayat  198:
Artinya: “Tidak ada dosa bagimu untuk mencari karunia (Rezeki hasil perniagaan) dari Tuhanmu”. (QS.Al Baqarah: 198)
b.      As Sunah
Diantara hadits yang berkaitan dengan mudharabah adalah hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah dan Syuhaib bahwa Nabi SAW bersabda:
“Tiga perkara yang mengandung berkah adalah jual beli yang ditangguhkan melakukan qiradh (memberi modal kepada orang lain) dan yang mencampurkan gandum dengan jelas untuk keluarga, bukan untuk diperjual belikan”. (HR. Ibnu Majah dan Shuhaib)
Dalam hadits yang lain diriwayatkan oleh Tabrani dan Ibnu Abbas bahwa Abbas Ibn Muthalib jika memberikan harta untuk mudlarabah, dia mensyaratkan kepada pengusaha untuk tidak melewati lautan, menuruni jurang dan membeli hati yang lembab. Jika melanggar persyaratan tersebut ia harus menanggungnya. Persyaratan tersebut disampaikan kepada Rasulullah SAW dan beliau memperbolehkannya.


c.       Ijma’
Diantara ijma’ dalam mudharabah adanya riwayat yang menyatakan bahwa jemaah dari sahabat menggunakan harta anak yatim untuk mudharabah, perbuatan tersebut tidak ditentang oleh sahabat lainnya.
d.      Qiyas
Mudharabah diqiyaskan kepada Al-Musyaqoh (menyuruh seseorang untuk mengelola kebun). Selain diantara manusia ada yang miskin dan ada pula yang kaya. Disatu sisi banyak orang kaya yang tidak dapat mengusahakan hartanya. Disisi lain tidak sedikit orang miskin yang mau bekerja, tetapi tidak memiliki modal. Dengan demikian adanya mudharabah ditujukan antara lain untuk memenuhi kebutuhan kedua golongan diatas yakni untuk kemaslahatan manusia dalam memenuhi kebutuhan mereka.
C.    Sejarah Perkembangan Transaksi Mudharabah
Pada dasarnya awal mula munculnya sejarah perkembangan sistem mudharabah mana kala para ulama’ fiqh membicarakan tentang riba, ketika mereka memecahkan permasalahan muamalah. Karena banyak ayat al-Qur’an yang membicarakan riba yang sesuai dengan periode larangan, sampai akhirnya datang larangan secara tegas pada akhir periode penetapan hukum riba. Karena pada hakekatnya riba telah dikutuk oleh agama samawi baik yang termaktub dalam perjanjian lama maupun perjanjian baru[5].
Kajian tentang larangan riba dalam konteks islam telah jelas dinyatakan dalam kitab suci al-Qur’an surah al-Baqarah: 278. Larangan tersebut pada dasarnya didasarkan pada suatu peristiwa atau asbabun nuzulnya ayat yang dinyatakan berkenaan dengan pengaduan Bani Mughiroh kepada Gubernur Mekkah setelah Fathu Makkah, yaitu ‘Attab bin as-Yad tentang hutang-hutangnya yang beriba sebelum ada hukum penghapusan riba, kepada Banu Amr bin Auf dari suku Staqif. Banu Mughiroh berkata kepada ‘Attab: “kami adalah manusia yang menderita akibat dihapusnya riba. Kami ditagih membayar riba oleh orang lain, sedangkan kami tidak mau menerima riba karena mentaati hukum penghapusan riba.”
Dari peristiwa ini, jelas bahwa setelah datangnya hukum yang tidak memperbolehkanya praktek riba, baik dalam bentuk kecil maupun besar, maka praktek tersebut segera berhenti dan dinyatakan berakhir. Maka dari sinilah muncul beberapa bentuk transaksi-transaksi islami yang mencoba untuk menjauhi praktek ribawi, salah satunya adalah sistem transaksi mudharabah.
Pada awalnya mudharabah terbentuk dari dua istliah yang saling melengkapi arti dan maksudnya yaitu mudharabah dan Muqorobah, yang semuanya bermaksud untuk memeberikan uang untuk pinjaman bagi tujuan perniagaan. Penduduk Iraq menggunakan istilah mudharabah untuk menyebut transaksi syarikah ini. Disebut sebagai mudharabah, karena diambil dari kata dharb di muka bumi. Yang artinya, melakukan perjalanan yang umumnya untuk berniaga dan berperang[6].
Praktik ini kerab diberi nama begitu karena darib berhak menerima bagian tertentu daripada keuntungan berdasarkan usaha dan tenaganya. Pada masa dahulu seorang darib terpaksa berjalan di atas muka bumi dalam jarak yang jauh lagi membawa barang dagangganya untuk mendapatkan keuntungan. Dalam istilah undang-undang, mudharabah, bermaksud satu kontak perkongsian yang melibatkan seseorang rakan (yang dinamakan pemilik saham) yang berhak terhadap keuntungan berdasarkan stoknya yang mana beliau menjadi rabbi mal, atau pemilik saham (yang disitilahkan sebagai ras mal, dan rakan yang satu lagi berhak terhadap keuntungan berdasarkan tenaganya. Beliau menjadi darib (atau pengurus harta). Oleh sebab itu beliau mendapatkan keuntungan berdasarkan usahanya atau tenaga yang ia keluarkan dalam usaha itu.
D.    Ketentuan Umum Tentang Mudharabah
1.      Jenis Mudharabah[7]
Taransaksi mudharabah pada dasarnya terbagi menjadi dua macam jenis, yaitu:
a.       Mudharabah mutlaqoh
Mudharabah al muthlaqah (mudharabah bebas). Adalah sistem mudharabah, yang dalam hal ini, pemilik modal (shahib al mal atau investor) menyerahkan modal kepada pengelola tanpa pembatasan jenis usaha, tempat dan waktu, ataupun dengan siapa pengelola bertransaksi. Jenis ini memberikan kebebasan kepada mudharib (pengelola modal) untuk melakukan apa saja yang dipandang dapat mewujudkan kemaslahatan.

b.      Mudharabah muqayyadah
Mudharabah muqayyadah adalah sistem mudharabah yang Bersifat terbatas. Sedangkan pada sistem ini pihak shohibul mal memberikan batasan tertentu dalam usahanya kepada mudhorib, misalnya; jenis investasi, tempat investasi, serta pihak-pihak yang diperbolehkan terlibat dalam investasi. Pada jenis ini pula shohibul mal dapat mensyaratkan kepada mudharib untuk tidak mencampurkan hartanya dengan dana al-mudharobah.

2.      Rukun Transaksi Mudharabah
Para ulama berbeda pendapat tentang rukun mudharabah. Ulama Hanafiah berpendapat bahwa rukun mudharabah adalah ijab dan qabul, yakni lafadz yang menunjukkan ijab dan qabul dengan menggunakan mudharabah, muqaridhah, muamalat atau kata-kata yang searti dengannya.
Sedangkan menurut Jumhur ulama, rukun mudharabah ada tiga hal yaitu:
(1)   Al-Aqidaini; dua aqad antara mudharib dan darib,
(2)   Ma’qud alaih ; adanya sesuatu yang diaqadkan,
(3)   Shighot; lafadz ijab maupun qobul antara dua pihak.
Sedangkan menurut Hanafiyah rukun Mudharabah dibagi menjadi tiga[8] yaitu:
a.       adanya dua pihak yang berakad (pemilik modal dan penguhasa)
b.      materi yang diperjanjikan, mencukupi modal usaha dan keuntungan.
c.       Sighoh (ijab dan qobul)
Sedangkan mernurut Gemala Dewi dkk, mengemukakan rukun Mudharabah ada empat hal yaitu[9]:
a.       pemodal dan pengelola
b.      Sighoh (ijab dan Qobul)
c.       Modal
d.      Nisbah keuntungan.

3.      Syarat Sah Transaksi Mudharabah[10]
Adapun dalam kitab Doktrin ekonomi Islam Af-zalurrahman mengutip daripada beberapa kajian tentang sistem ini, ia mengatakan bahwa ulama’ islam (terutama keempat-empat imam sunni), telah mengkaji mendalam dan menentukan sifat dan skop sebenarnya tentang kontrak syirkah dan mudharabah dan sekaligus perbedaan diantara keduanya. Mereka semua setuju bahwa mudharabah adalah halal dan dibenarkan dalam Islam asalkan memenuhi beberapa syarat berikut:
a.       Jika dua orang (atau lebih) berikat janji secara sukarela bilamana satu pihak memberikan modal dana kepada pihak lain untuk memperoleh keuntungan yang akan dibagi bersama.
b.      Apabila ada kesepakatan diantara shohibul mal dan mudharib dalam keuntungan yang mungkin akan dihasilkan dai pada aktifitas ekonomi tersebut dengan membagi sesuai dengan kesepakatan mereka berdua seperatus atau nisbah dari pada jumlah keuntngan.
c.       Akan tetapi apabila berlaku kerugian, darib tidak akan mendapatkan apa-apa bagi kerjanya, dan semua kerugian itu ditanggung sepenuhnya oleh shohibul mal.
d.      Modal itu harus diserahkan kepada pihak lain dengan akad untuk tujuan mudharabah.
e.       Darib bebas untuk berniaga dengan modal yang diamanahkankepadanya itu dengan apa saja cara yang difikirkan baik dan boleh mengambil langkah-langkah yang dirasakan perlu dan betul untuk mendapatkan keuntungan yang maksimum sesuai dengan ajaran agama atau syari’at Islam.
f.       Tempo perkongsian itu tidak ditetapkan pada tidak terbatas tetapi setiap pihak berhak untuk menamatkan kontrak perkongsian itu dengan memberitahukan kepada rekanya. Disyaratkan bagi orang yang akan melakukan akad, yakni pemilik modal dan pengusaha adalah ahli dalam mewakilkan atau menjadi wakil, sebab mudharib mengusahakan harta pemilik modal, yakni menjadi wakil, namun demikian tidak disyaratkan harus muslim, mudharabah dibolehkan dengan orang kafir Dzimmi.
Adapun ulama malikiyah memakruhkan mudharabah dengan kafir Dzimmi jika mereka tidak melakukan riba dan melarangnya jika mereka melakukan riba[11].


Adapun syarat sahnya dalam permodalan adalah:
a.       Modal harus berupa uang, seperti dinar, dirham atau sejenisnya.
b.      Modal harus diketaui dengan jelas dan memiliki ukuran.
c.       Modal harus ada, bukan berupa utang, tetapi tidak harus berada ditempat.
d.      Modal harus diberikan kepada pengusaha

Sedangkan syarat sahnya dalam Laba adalah:
a.         Laba harus memiliki ukuran
b.         Laba harus berupa bagian yang umum atau (masyhur)

E.     Mekanisme dan Konsep Transaksi Mudharabah
1.      Esensi dan Mekanisme Transaksi Mudharabah
a.      Sifat kontrak Mudharabah
Prinsip bagi hasil (profit sharing) merupakan karakteristik umum dalam landasan sistem syari’ah secara keseluruhan. Secara syari’ah prinsip berdasarkan pada qoidah mudharabah. Berdasarkan prinsip ini dharib akan sebagai mitra baik dengan shahibul mal demikian juga kepada pengusaha/nasabah yang meminjam harta[12].
Sedangkan dengan penabung, pihak pengelola mal akan menjadi sebagai mudharib, sementara penabung mal bertindak sebagai penyandang dana (shohibul mal). Antara kedua belah pihak ini maka diadakanlah kontrak kesepakatan pembagian keuntungan maupun kerugian yang kemungkinan akan terjadi, sesuai dengan analisa dan kesepakatan diantara mereka berdua.
Sedangkan disisi lain, dengan pengusaha/ atau peminjam dana pihak pengelola dana dari shohibul mal yang awalnya sebagai mudharib akan menjadi shohibul mal, sementara itu pihak peminjam yang akan mengelola dana tersebut akan menjadi mudharib.


b.      Peraturan Sistem Mudharabah
Al-Jazari telah menerangkan dengan mendalam mengenai peraturan-peraturan yang mengawasi kontrak mudharabah dengan memberikan gambaran yang sangat jelas mengenai jenis perkongsian ini. Peraturan itu dapat diringkas sebagai berikut[13]:
b.1.  Darib memiliki stok modal sebelum dia memulai perniagaanya sebagai seorang  pemegang amanah, ini bermakna bahwa dia mempunyai hak terhadap modal atau harta pemilik itu sebagai amanah
b.2.  Apabila darib memuali perniagaan maka dia berfungsi sebagai pengusaha / penggelola bagi pemilik modal itu dan mewakilkanya dalam rangka ruang lingkup kekuasaanya.
b.3.  Penggelola akan mendapat sham tertentu daripada keuntungan yang diperoleh dalam perniagaan itu, sesuai dengan perjanjian dalam pembagianya.
b.4. Jika perusahaan melanggar syarat-syarat kontrak maka dia telah dinggap bersalah.
b.5. Jika kontrak itu bathal atau gagal, darib dianggap sebagai pekerja dan keseluruhan keuntungan dan kerugian dalam perniagaan akan ditanggung oleh shohibul mal.
b.6. Jika semua keuntungan itu dibagikan kepada pemilik modal, maka darib mempunyai kuasa dalam kontrak itu untuk membeli barang-barang dalam kuantiti yang tertentu sebagai imbalan kepada tenaganaya tetapi dia tidak boleh menerima gajinya.
Jika seluruh keuntungan diambil oleh darib, urusan perniagaan dianggap sebagai satu pinjaman dan dia berhak terhadap semua keuntungan itu dan jika terjadi kerugian maka dia terpaksa mengantinya.
a.      Mekanisme Sistem Transaksi Mudharabah
Dalam sistem mudharabah pemilik saham atau mal tidak diberikan peranan dalam pengelolaan atau memenej perusahaan. Konsekwensinya mudharabah merupakan perjanjian yang diperoleh para pemberi pinjaman adalah suatu bagian tertentu dari keuntungan/kerugian proyek yang telah mereka biayai.
Sedangkan mudharib menjadi pengawas amin, untuk modal yang dipercayakanya kepadanya dengan cara mudharabah. Mudharib harus mengunakan dana dengan cara yang telah disepakati dan kemudian mengembalikan kepada shohibul mal modal dan bagian keuntungan yang telah disepakati sebelumnya. Mudhorib menerima sisa uang itu sendiri untuk keuntunganya. Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam mekanisme transaksi ini yaitu[14];
c. 1. Pembagaian keuntungan di antara dua pihak tentu saja harus secara proposional dan tidak dapat memberikan keuntungan sekaligus atau yang pasti kepada shohibul mal.
c.2.  Shohibul mal, tidak bertanggung jawab atas kerugian-kerugian di luar modal yang telah diberikan.
c.3. Mudharib tidak turut menanggung kerugian kecuali kerugian waktu dan tenaganya.
Model perjanjian semacam ini bisa sederhana bisa juga menjadi rumit, sesuai dengan jenis yang dikehendaki oleh kedua belah pihak tersebut. Karena seperti yang dikemukakan diatas dalam jenis macam-macam mudharabah itu sendiri ada dua macam baik secara mugaiyad maupun mutlaqoh.
b.      Penghitungan margin laba dan bagi hasil
Dana yang telah masuk yang diterima mudharib dari shohibul mal, perlu dikelola dengan penuh amanah dan istiqomah. Dengan harapan dana tersebut mendatangkan keuntungan yang besar, baik untuk nasabah maupun penggelola dana. Prinsip utama yang harus dikembangkan dan ditanamkan dalam proses penggelolaan dana dari shohibul mal adalah mudhorib harus mampu memberikan hasil kepada shohibul mal minimal sama dengan atau lebih besar dari suku bunga yang berlaku di sistem konvensional yang jelas menggunakan unsur ribawinya, dan mampu menarik bagi hasil dari debitur lebih rendah dari pada bunga yang diberlakukan pada bank konvensional.
Oleh karena itu, upaya manajemen dana perlu dilakukan secara baik. Baiknya menajemen dana yang dilakukan mudhorib akan menunjukan kredibilitas didepan kepercayaan shohibul mal untuk memberikan pinjaman atau menyimpan dananya kepadanya.
c.       Contoh Studi Kasus bagi hasil[15]
Bank Syariah Mandiri (BSM) melakukan kerjasama bisnis dengan Zainur Rahman, seorang pedagang buku di Pasar Shoping Sumenep menggunakan akad mudharabah (BSM sebagai pemilik dana dan Zainur Rahman sebagai pengelola dana). BSM memberikan modal kepada Zainur Rahman sebesar Rp 10.000.000 sebagai modal usaha pada Tanggal 1 Juni 2010 dengan nisbah bagi hasil BSM : Zainur Rahman = 30% : 70%. Pada tanggal 31 Juli 2010, Zainur Rahman memberikan Laporan Laba Rugi penjualan buku sebagai berikut:
Penjualan                                      Rp 1.000.000,-
Harga Pokok Penjualan                Rp    700.000,-
Laba Kotor                                   Rp    300.000,-
Biaya-biaya                                  Rp   100.000,-
Laba bersih                                   Rp   200.000,-
Hitunglah pendapatan yang diperoleh BSM dan Zainur Rahman dari kerjasama bisnis tersebut pada tanggal 31 Juli 2009 bila kesepakan pembagian bagi hasil tersebut menggunakan metode:
d.      Profit sharing
e.       Revenue sharing
Penyelesaian:
                                                                          i.      Profit sharing
BSM                               : 30% x Rp 200.000 (Laba bersih) = Rp 60.000
Zainur Rahman                 : 70% x Rp 200.000 = Rp 140.000
                                                                        ii.      Revenue sharing
BSM                               : 30% x Rp 300.000 (Laba Kotor) = Rp 90.000
Zainur Rahman                 : 70% x Rp 300.000 = Rp 210.000
c.       Skim pembiayaan Transaksi Mudharabah
Prinsip mudharabah dapat diterapkan dalam kondisi bank membiayai secara penuh sebuah usaha (100 % dana dari bank, nasabah hanya memiliki profesionalisme dan busines plan saja)[16].
d.      Aplikasi Transaksi Mudharabah dan manfaatnya dalam perbankan
Sistem transaksi mudharabah biasanya diterapkan pada produk-produk pembiayaan dan pendanaan. Pada sisi penghimpunan dana, al-mudharabah dirterapkan pada;
a.       Tabungan berjangka, iaitu tabungan yang dimaksudkan khusus, seperti tabungan haji, tabungan kurban. Sering disebut dengan istilah deposito biasa.
b.      Deposito spesial, dimana dana yang dititipkan nasabah khusus untuk bisnis tertentu, misalnya hanya dalam murabahah atau ijarah sahaja.
Adapun dalam pembiayaanya ia dapat diterapkan pada:
a.       pembiayaan modal kerja, seperti modal kerja perdagangan dan jasa
b.      investasi khusus (muqoyadah) diaman sumber dana khusus dengan penyaluran yang khusus dengan syarat-syarat yang telah diterapkan oleh shohibul mal.
Adapun manfaat daripada penerapan transaksi mudharabah ini ialah:
a.         bank akan menikmati peningkatan hasil pada saat keuntungan usaha nasabah meningkat.
b.        bank tidak berkewajiban membayar bagi hasil kepada nasabah pendanaan secara tetap, tetapi disesuaikan dengan pendapatan/hasil usaha bank sehingga bank tidak akan pernah mengalami negative spread.
c.         pengemnbalian pokok pembiayaan disesuaikan dengan cash flow/arus kas usaha nasabah sehingga tidak memberatkan nasabah.
d.        bank akan lebih selektif dan hati-hati bank akan lebih selektif dan hati-hati (prudent) mencari usaha yang benar-benar halal, aman, dan menguntungkan. Hal ini karena keuntungan yang riil dan benar-benar terjadi itulah yang akan dibahagikan
e.         prinsip bagi hasil dalam musyarakah ini berbeda dengan prinsip bunga tetap di mana bank akan menagih penerima pembiayaan (nasabah) satu jumlah bunga tetap berapa pun keuntungan yang dihasilkan nasabah, bahkan sekalipun merugi atau krisis ekonomi

e.       Kelemahan Operasional Investasi dana Mudharabah
Berdasarkan teori perbankan kontemporer sebagaimana yang ditulis oleh Muhammad dalam jurnal Hukum dan Ekonomi Islam (IJTIHAD) dan beliau adalah salah satu pengamat dan ketua badan Pengawas Syari’ah di Indoensia, ia mengataka ada beberapa kelemahan dalam operasional Investasi dana bagi hasil (mudharabah). Menurutnya beberapa faktor yang menyebabkan keleman-kelemahan tersebut timbul ialah[17]:
a.       Standar Moral
Terdapat anggapan bahawa standar moral yang berkembang dikomunitas muslim tidak memberikan kebebasan penggunaan bagi hasil sebagaimana mekanisme investasi. Hal ini berdasarkan argument yang mendioring bangk untuk mengadakan pemantauan lebih intensif terhadap setiap infestasi yang diberikan. Yang demikian itu membuat operasional perbankan berjalan tidak ekonomis dan tidak efisien.

b.      Ketidak efektifan model pembiayaan bagi hasil
Pembiayaan bagi hasil menyediakan berbagai macam kebutuhan pembiayaan dari ekonomi kontemporer. Walalupun pembiayan siterm muddharabah dan musyarakah merupakan alat yang terbaik untuk menghapis bunga dalam berbagai macam transaksi pembiayaan jangka pendek. Namun kemungkinan untuk dilakasanakan kedalam pembiayaan institusional menjadi terlambat.

c.       Berkaitan dengan para penguhasa
Sistem bagi gasuk untuk membantu perkembangan usaha lebih bantak melibatkan pengusha secatra langsing dari pada sistem lainuyapada bangk konvensional, bank syari;ah memerlukan informasi yang lebih rinci tentang aktivitas bisnis yang dibiyai dan besar kemungkinan pihak bank turut mempengaruhi setaop pengambilan keputusan bisnis mitranya

d.      dari segi biaya
Pemberian pinjaman berdasarkan sistem bagi hasil memerlukan kewsaspadaan yang lebih tinggi dari pihak bangk, maka bank syari’ah kemungkiann besar meningkatkan kualitas pegawainya dengan cara mempekerjakan para teknisi dan agli manajemen untuk mengevaluasi proyek usaha yang dipinjami untuk mencermati lebih terliti dan lebih jeli daripada teknis peminjaman pada bank konvensional. Sehingga hal ini akan meningkatkan pengeluaran dan selanutnya akan mempengaruhi pembiayaan.

e.       segi teknis
Dalam segi teknisnya ada beberapa yang mengalami problem bahkan termasuk pada pihak bank sendiri, nasabah, dan perhitungan keuntungan. Kurangnya tenaga profesional dan keahliaan dalam pengatahuan bidang ini, serta dalam mengunakan sistem bagi hasil maka pihak bank haruslah mempunyai pengetahuan yang luas untuk mengenai prilaku aktifitas ekonomi yang berguna untuk memperidiksi dalam keuntungan yang akan diperoleh pada tiap-tiap sektor, serta tentang keadaan keuangan investor dan kommitmenya dalam menjalankan proyek ini. Sedangkan dari sisi nasabah banyaknya ke butahurufan di kalangan masyarakat muslim, secara tidak disadari hal ini akan menyulitkan dalam pembuatan catatan akuntansi secara terperinci.
f.       kurang menariknya sistem bagi hasil dalam bisnis
Dalam dunia bisnis dan industri, biaya yang dikeluarkan dari mdana-dana yang diperoleh berdasarkan sistem bagi hasil tidak diketahui secara jelas dan pasti. Hal ini akan menimbulkan terbongkarnya rahasia keungan pengusaha oleh pihak bank dan juga investasi bank terhadap urusan manajemen pengusaha.

g.      permasalahan efisiensi.
Tingkat investasi bagi hasil memungkin tinggi dibandingkan dengan sistem lainya. Karena dalam sistem bagi hasil ditawarkan apa-apa yang sesuai terhadap dana yang dipinjamkan. Oleh karena pengusaha dapat mengabaikan kepastian bagian hasil usaha yang diberikan kepada pemberi pinjaman yang disebabkan ketidak tentuan hasil produksinya, serta tidak adanya kehawatiran bila ada penyelewengan dana pinjaman terhadap investasi riil.


[1] Wahbah Az-Zuhaily.  Al-Fiqhu Al-Islaamiyu wa Adillatuhu,  j.4. (Damaskus: Daar Al-Fikri, 1989), 97
[2] Afzal-ur-rahman. Doktrin Ekonomi Islam. (Kuala lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 1994), alih bahasa Hamad Osman, 35
[3] http://www.mui.or.id/mui_in/product_2/lks_lbs.php?id=69. diakses 23 juli 2008. Latifa M. Algout dan  Mervyn K. Lewis (2001) Perbankan Syari'ah prinsip praktik dan konsep,. Jakarta: serambi
[4] “Qiradh (mudharabah)”. http://imronfauzi.wordpress.com/2008/06/12/qiradh-mudharabah/. 12 Februari 2008. Diakses 15 juni 2010
[5] Muhammad Syafi’I Antonio. Bank Syari’ah dari Teori ke Praktek. (Jakarta: Gema Insani,  2001), 46
[6] Majalah As-Sunnah Edisi 03/Tahun X. Penerbit, Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta: Solo. 2006
[7] Nawab Syed Haidar Naqui.  Menggagas Ilmu Ekonomi Islam, e.1. (Jogjakarta: Pustaka Pelajar, 2003), 67
[8] Wahbah Az-Zuhaily. Al-Fiqhu Al-Islaamiyu wa Adillatuhu, 52.
[9] Gemala Dewi, dkk.. Hukum Perikatan Islam di Indonesia. (Jakarta: Prenada Media Group,  2006)
[10] Afzal-ur-rahman. 1994. doktrin ekonomi Islam, 40
[11] Wahbah Az-Zuhaily. Al-Fiqhu Al-Islaamiyu wa Adillatuhu, 55
[12] M. Sholehuddin.  Asas-asas Ekonomi Islam. (Jakarta: Rajawali Press, 2007), 45
[13] Majalah As-Sunnah Edisi 03/Tahun X. Penerbit, Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta: Solo. 2006
[14] Sunarto Zulkifli. Panduan praktis Transaksi Perbankan Syari'ah.  (Jakarta: zikrul Hakim, 2003), 35
[16] Nawab Syed Haidar Naqui (2003) Menggagas Ilmu Ekonomi Islam, e.1. Jogjakarta: Pustaka Pelajar.

[17] Muhammad. Konstruk Mudharabah dalam Bisnis Syari’ah. IJTIHAD. Jurnal Hukum dan Ekonomi Islam. (Ponorogo: Fakultas Syari’ah Institut Studi Islam Darussalam Gontor, 2006)

2 komentar:

secara teori hkm islam sangat baik, tp dlm tataran praksis masih membutuhkan kerja keras dan perjuangan yg sungguh2. Bangsa qt mayorsitas ialam tp mereka kurang begitu tahu ttg sistem hkm mu'amalah. sukse

dari beberapa referensi yg sy dapat, mmg bgitulah yg menjdi kendala perbankan Syariah. "Minimnya SDM pelaku Syariah". namun saya optimis thun 2023 Bank Syariah di Indonesia akn menjadi cerminan dunia.

Posting Komentar

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More