Rabu, 18 Mei 2011

Zakat Dan Upaya Pengentasan Kemiskinan


Zakat Dan Upaya Pengentasan Kemiskinan
Oleh : Zainur Rahman

A.    Posisi Zakat dalam Ekonomi Islam
Secara bahasa (literal), zakat berasal dari bahasa arab yang memiliki arti “tumbuh dan berkembang”. Sedangkan menurut ahli yurisprudensi Islam, zakat didefinisikan sebagai bentuk pengeluaran yang dilakukan oleh kaum berpunya (the have)—yang di dalam istilah Islam disebut sebagai muzakki, yakni golongan orang yang telah melampaui batas pemilikan harta tertentu (nisab)—yang ditujukan kepada kaum tak berpunya (the haven’t), yang disebutkan di dalam Al-Quran berjumlah delapan golongan (QS. At-Taubah [9]:60).
Firman Allah dalam al-Qur'an :
Artinya: “Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, Para mu'allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yuang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana”.[1]
Dilihat dari kacamata ekonomi, sepintas zakat merupakan pengeluaran (konsumsi) bagi pemilik harta sehingga kemampuan ekonomis yang dimilikinya berkurang. Namun logika tersebut dibantah oleh Allah swt., melalui kitab suci Al-Quran yang menyatakan bahwa segala macam bentuk pengeluaran yang ditujukan untuk mencapai keridhaan Allah, akan digantikan dengan pahala (harta sejenis maupun kebaikan yang lain) yang berlipat (QS. Al-Baqarah [2]:251 dan QS. Ar-Ruum [30]:39).
Kaitannya dalam ekonomi Islam, zakat merupakan sistem dan instrumen orisinil dari sistem ekonomi Islam sebagai salah satu sumber pendapatan tetap institusi ekonomi Islam (baitul maal). Dalam literatur sejarah peradaban Islam, zakat bersama berbagai instrumen ekonomi yang lain seperti wakaf, infak/sedekah, kharaj, ushur dan sebaginya senantiasa secara rutin mengisi kas Negara untuk kemudian didistribusikan kepada masyarakat. Kedudukan zakat yakni menjamin tercukupinya kebutuhan minimal kaum lemah (mustadh’afiin) sehingga tetap mampu mengakses perekonomian. Melalui akses ekonomi tersebut, zakat secara langsung telah menjamin keberlangsungan pasar. Dengan sendirinya, produksi bahan-bahan kebutuhan tetap berjalan dan terus membukukan keuntungan. Dan perlu dicatat bahwa produsen tersebut pada umumnya adalah mereka yang memiliki status sebagai muzaki.
Dari mekanisme ekonomi seperti di atas-lah, maka kemudian secara filosofis zakat diartikan sebagai berkembang. Belum lagi, zakat juga memiliki potensi yang besar untuk merangsang mustahik untuk keluar dari keterpurukan menuju kemandirian. Dengan kata lain, zakat, jika dikelola dengan baik dan professional oleh lembaga-lembaga (amil) yang amanah, memiliki potensi mengubah mustahik menjadi muzakai atau bermental muzaki atau minimal tidak menjadi mustahik lagi. Dalam konteks Indoensia, implementasi zakat dalam perekonomian sangat relevan terutama jika dikaitkan dengan upaya pengentasan kemiskinan (yang juga merupakan golongan yang berhak menerima zakat) yang terus-menerus diupayakan oleh pemerintah.
Dilihat dari aspek ibadah, zakat memiliki posisi yang sangat vital karena merupakan salah satu dari rukun Islam. Konsekuensi logis dari posisi ini adalah zakat merupakan kewajiban bagi umat Islam yang jika ditinggalkan menyebabkan pelakunya akan menanggung beban dosa. Dari penjelasan yang terdapat dalam sumber-sumber hukum agama Islam, yakni Al-Qur’an dan Hadits mengisyaratkan secara tegas bahwa orang-orang yang menahan hartanya dari membayar zakat akan mendapat balasan yang berat. Sejarah mencatat, pada masa khalifah Abu Bakar as-Shidiq ra., orang-orang yang tidak membayar zakat dihukum berat dengan cara diperangi[2].
B.     Kemiskinan: Teori, Penyebab dan Realitasnya
b.1. Sejarah Kemiskinan
Kemiskinan lahir bersamaan dengan keterbatasan kemampuan manusia dalam mencukupi kebutuhan hidupnya. Sejarah mencatat bahwa kemiskinan telah ada sejak lama pada hampir semua peradaban manusia. Di dalam Hukum Zakat, Dr. Yusuf Qardawi mencatat pernyataan seorang ilmuwan besar yang melaporkan tentang sejarah kelam hubungan antara orang-orang miskin yang telah berlangsung semenjak kebudayaan-kebudayaan pertama manusia. Katanya:”Pada bangsa apa pun peneliti mengarahkan perhatiannya, ia selalu hanya akan menemukan dua golongan manusia yang tidak ada ketiganya, yaitu golongan yang berkecukupan dan golongan yang melarat. Di balik itu selalu didapatkan keadaan yang menarik, yaitu golongan yang berkecukupan selalu semakin makmur tanpa batas, sedangkan golongan yang melarat selalu semakin kurus sehingga hanpir-hampir tercampak di atas tanah, terhempas tak berdaya. Terancamlah bangunan masyarakat oleh karena fondasinya goyah, sedanngkan orang yang hidup bermewah-mewah itu sudah tidak sadar mulai dari mana atap di atasnya runtuh.”[3]
Kondisi kemiskinan tersebut dapat dijumpai pada Mesir kuno, surga di atas bumi. Pada masa Dinasti XII, orang miskin menjual diri mereka kepada orang kaya. Juga di Babilonia, orang-orang miskin tidak pernah merasakan hasil-hasil negeri mereka. Pada zaman Yunani, orang-orang miskin digiring dengan cambuk ke tempat terkutuk, dan jika salah sedikit mereka disembelih seperti domba. Di Roma, orang-orang berpunya berkuasa penuh atas rakyat biasa. Dan setelah kerajaan Rumawi hancur digantikan oleh kerajaan Eropa, nasib orang miskin semakin buruk saja. Di manapun, mereka bersama tanah milik mereka dijual laksana binatang. Baru kemudian Islam datang, kondisi mereka (orang miskin) jauh berbeda dari apa yang bisa kita bayangkan[4].
b.2. Teori dan Penyebab Kemiskinan
Menurut Goenawan Sumodiningrat, kesenjangan dan kemiskinan dilihat dari segi penyebabnya dapat dibedakan menjadi tiga bagian: pertama, kesenjangan dan kemiskinan natural yaitu kesenjangan dan kemiskinan yang disebabkan oleh factor-faktor alamiah, seperti perbedaan usia, perbedaan tingkat kesehatan, perbedaan georgrafis tempat tinggal dan lain-lain. Kedua, kesenjangan dan kemiskinan kultural, yaitu kemiskinan yang disebabkan oleh perbedaan adat budaya seperti etika kerja, pola hidup dan sebagainya. Ketiga, kesenjangan dan kemiskinan struktural yang disebabkan oleh faktor-faktor buatan manusia, misalnya kebijakan pemerintah pada perekonomian yang bersifat diskriminatif, kolutif dan koruptif, distribusi pendapatan yang tidak merata hingga tatanan ekonomi dunia yang timpang dan lain-lain[5].
Namun, ada juga ahli ekonomi yang mengemukakan bahwa penyebab kemiskinan hanya ada dua macam. Pertama, kemiskinan akibat struktur yang oleh Alfian disebut sebagai kemiskinan struktural yang didefinisikan sebagai “kemiskinan yang diderita oleh suatu golongan masyarakat karena struktur social masyarakat itu tidak dapat ikut menggunakan sumber-sumber pendapatan yang tersedia bagi mereka.”[6] Contohya adalah kasus busung lapar di Nusa Tenggara Barat, di mana daerah tersebut sebetulnya merupakan lumbung pangan dan senantiasa mengalami surplus pangan[7].
Secara ironis dan apik, Andrea Hirata juga berhasil menggambarkannya melalui tetralogi Laskar Pelanginya yang menggambarkan kondisi masyarakat Pulau Belitong yang menderita kemiskinan di tengah-tengah kekayaan timah yang melimpah di tanah tersebut. Dalam kedua kasus tersebut, penduduk local tidak memiliki akses untuk mengelola kekayaan alam sendiri. Mereka bekerja sebagai buruh (petani dan penambang timah), sedangkan modal dan sumber daya dikuasai oleh tuan tanah dan pemilik modal[8].
Kedua, kemiskianan cultural. Kemiskinan ini diakibatkan oleh nilai-nilai budaya yang dianut olah masyarakat yang ikut berperan dalam membentuk serta melanggengkan kemiskinan. Budaya ini, oleh Carl Lewis diteorisasikan dengan “budaya kemiskinan” (Cultur of Poverty). Sifat malas, tidak rajin dan tekun, serta bersikap pasrah dengan keadaan merupakan contoh perilaku (behaviour) yang tidak hanya menyebabkan kemiskinan tetapi juga memeliharanya[9].
Selanjutnya, kemiskinan ini akan menyebabkan seseorang melekat pada dirinya lima “ketidakberuntungan”, bagi kehidupannya sendiri, keluarganya serta komunitas miskin tersebut. Lima “ketidakberuntungan” tersebut adalah: kemiskinan (poverty), fisik yang lemah (physical weakness), kerentaan (vulnerability), keterisolasian (isolation), dan ketidakberdayaan (powerlessness). Di sisi lain, kemiskinan juga menimbulkan masalah dalam skala besar kenegaraan. Dengan meningkatnya jumlah penduduk miskin, beban pemerintah menjadi semakin bertambah sebagaimana disebutkan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia yang berkomitmen bahwa “Fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh Negara”, yang hingga enam puluh tahun lebih merdeka dari penjajah, belum bisa merealisasikannya.
b.3. Realitas Kemiskinan Indonesia[10]
Jumlah penduduk miskin selama periode 1976-1993 turun secara drastic. Pada tahun 1976 dari sekitar 54,2 juta jiwa (40,1 persen) menjadi sekitar 40,6 juta jiwa (26,9 persen) pada tahun 1981. Pada tahun 1990 jumlah tersebut turun lagi menjadi sekitar 25,9 juta jiwa (15,1 persen) dan menjadi sekitar 25,9 juta jiwa (13,7 persen) pada tahun 1996. Krisis ekonomi yang terjadi pada pertengahan tahun 1997 mengakibatkan jumlah orang miskin meningkat tajam menjadi 49,5 juta jiwa atau 24,2 persen dari total penduduk (17,6 juta jiwa atau 21,9 persen di wilayah perkotaan dan 31,9 juta jiwa atau 25,7 persen di wilayah pedesaan). Persentase penduduk miskin pada tahun ini mendekati kondisi kemiskinan pada tahun 1981 dan tahun 1984.
Jumlah penduduk miskin pada tahun 2000 turun hingga sekitar 37,8 juta jiwa (18,4 persen), dengan jumlah penduduk miskin di wilayah perkotaan sebesar 8,6 juta jiwa (9,8 persen) dan di wilayah pedesaan sekitar 29,3 juta jiwa (24,8 persen). Pada tahun 2003 jumlah penduduk miskin menurun hingga menjadi sekitar 37,3 juta jiwa (17,4 persen) dan pada tahun 2004 jumlah penduduk miskin kembali menurun hingga menjadi sekitar 36,1 juta jiwa (16,6 persen). Data kemiskinan berdasarkan survey nasional social ekonomi nasional (Susenas) BPS yang dilakukan Maret 2006 mencatat jumlah penduduk miskin 3,95 juta jiwa dibandingkan Februari 2005. Jumlah absolute penduduk miskin naik menjadi 39,05 juta jiwa atau 17,75 persen dari total penduduk Indonesia.
Sedangkan, pada tahun 2007, Indonesia berhasil menurunkan jumlah orang miskin dari 17,8 persen total populasi pada 2006 menjadi 16,6 persen. Keberhasilan ini tak lepas dari upaya pemerintah menekan inflasi dan pengaruh program Bantuan Langsung Tunai (BLT). Bank Dunia juga memprediksikan bahwa pada 2008 jumlah penduduk Indonesia berpendapatan US$ 2 atau Rp. 19.000,- perhari akan berkurang 4,6 juta orang dari total penduduk miskin yang berjumlah 105,3 juta orang. Penurunan juga terjadi pada penduduk “sangat miskin” (yaitu mereka yang berpendapatan US$ 1 perhari) menjadi 5,9 juta orang dari sebelumnya 6,7 juta. Saat ini jumlah total penduduk Indonesia adalah 236,4 juta jiwa.
Meski secara kuantitas, data-data statistic menunjukkan tingkat kemiskinan yang fluktuatif, secara umum kemiskinan senantiasa menjadi permasalahan yang memiliki kualitas semakin hari semakin akut. Kemiskinan berevolusi menimbulkan permasalahan baru menjalar di berbagai bidang. Di bidang kesehatan, kemiskinan bertanggungjawab pada munculnya pemukiman-pemukiman kumuh dengan standar di bawah ketentuan minimal hidup sehat dan sejahtera. Di bidang stabilitas nasional, kemiskinan merupakan biang dari berbagai tindak kriminalitas yang terjadi di masyarakat.
C.    Kemiskinan dalam Perspektif Islam
Sejak kelahirannya, agama Islam adalah musuh utama kemiskinan. Hal tersebut dibuktikan dengan banyaknya pernyataan-pernyataan di dalam al-Qur’an maupun hadits yang menganjurkan kepada umat Islam untuk melepaskan diri dari kemiskinan. Dikatakan di dalam al-Qur’an: “Apakah engkau tahu siapakah pendusta agama? Mereka adalah yang menelantarkan anak yatim dan tidak peduli terhadap fakir miskin.”
Rasulullah juga kemudian mengatakan bahwa tidak beriman seseorang, di mana ia tidur dengan kekenyangan, tetapi tetangganya kelaparan yang semakin menegaskan bahwa Islam tidak diturunkan kecuali sebagai rahmat bagi semesta alam, salah satunya dengan memerangi kemiskinan. Sedangkan Imam Ali ra., menyebut kematian seagai kematian atau musibah terbesar.
Bagi orang-orang yang tidak mau peduli dengan kemiskinan, Allah swt. mengeluarkan perintah tegas untuk menghukum mereka:
“Tankap dan borgol mereka, kemudian lemparkan ke dalam api neraka yang menyala-nyala, dan belit dengan rantai tujuh puluh hasta! Mengapa mereka dihukum dan disiksa secara terang-terangan (seperti) itu? Oleh karena mereka ingkar kepada Allah yang Maha Besar dan tidak menyuruh memberi makan orang-orang miskin.”
Bahkan, masih banyak ayat-ayat al-Qur’an dan hadits yang semuanya bermuara pada satu kesimpulan bahwa Islam diturunkan untuk melenyapkan kemiskinan di atas muka bumi, sebagaimana pernah terjadi pada masa khalifah Umar bin Khattab dan khalifah Umar bin Abdul Aziz. Diturunkannya al-Qur’an dimuka bumi adalah untuk membebaskan manusia dari belenggu-belenggu kemiskinan menuju kemerdekaan dan kemandirian secara ekonomis.
Oleh karenanya, Islam memiliki konsep yang kongkrit yakni zakat untuk mengentaskan kemiskinan dan membangun kemandirian umat. Konsep zakat juga merupakan konap berbagi dengan sesama (kedermawanan sosial), terutama dengan kaum fakir miskin yang termasuk ke dalam golongan orang-orang yang lemah (mustadh’afiin). Indikasi ini wajar dilihat dari alasan teologis kenapa zakat itu ada: pertama, segala kekayaan alam di langit dan di bumi adalah milik Tuhan (QS.3:180). Kedua, manusia berasal dan akan kembali kepada Yang Maha Tunggal. Dalam konteks ini zakat dimaksudkan untuk meniadakan adanya penumpukan harta secara berlebiha pada individu maupun kelompok tertentu sementara yang lainnya hidup dalam kemiskinan yang akut.
D.    Formula Pengentasan Kemiskinan ala Islam
DR. Yusuf Qardhawi mengungkapkan, sedikitnya ada 5 usaha yang dapat dilakukan umat Islam dalam mengatasi kemiskinan. Kelima upaya tersebut adalah sebagai berikut[11]:
1.      Meningkatkan etos kerja individu dan masyarakat. Sebelum adanya perintah bagi orang kaya untuk menginfakkan hartanya dalam rangka membantu meringankan beban fakir miskin orang-orang yang lemah, melalui zakat, infak, sedekah, wakaf dan sebagainya, telah terlebih dahulu dianjurakan kepada individu-individu muslim untuk memiliki etos kerja yang tinggi. Aktifitas bekerja dinilai sebagai ibadah yang mendatangkan pahala dan menghapus dosa. Optimisme bekerja ditanamkan dengan ungkapan: “Bekerjalah untuk duniamu, seolah-olah engkau akan hidup selama-lamanya. Dan bekerjalah untuk akhiratmu, seolah-olah engkau akan mati besok.”
2.      Membantu keluarga yang lemah baik di bidang ekonomi maupun lainnya. Bantuan sekecil apa pun bagi orang yang sangat membutuhkan uluran tangan, akan sangat bermakna bagi orang tersebut.
3.      Membayar zakat bagi yang telah mencapai batas kepemilikan harta tertentu (nisab). Zakat yang dibayarkan oleh orang-orang kaya kepada orang yang membutuhkan, tidak hanya menimbulkan kebaikan dan manfaat bagi orang yang menerima. Lebih dari itu, zakat juga mendatangkan kebaikan bagi yang menunaikannya terkait dengan fungsi zakat yang mensucikan harta, dan berpotensi untuk mendapatkan pahala yang berlipat.
“Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji. Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang dia kehendaki. dan Allah Maha luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui.”
4.      Dana bantuan perbendaharaan Islam. Dana tersebut berupa dana yang merupakan sumber-sumber pendapatan bagi institusi baitul maal seperti zakat, infak, wakaf, jizyah, ushur dan sebaginya.
5.      Keharusan menunaikan kewajiban selain zakat. Kewajiban lain di luar zakat tersebut yaitu kewajiban dalam kaitannya dengan materi atau harta kekayaan. Kewjiban tersbut misalnya adalah kewajiban memberi nafkah kepada orang yang menjadi tanggungan.
E.     Fungsi Zakat dalam Upaya Pengentasan Kemiskinan
e.1. Konsep Pemberdayaan
Menurut Dr. Abdul Al-Hamid Mahmud Al-Ba’ly, pemberdayaan dalam kaitannya dengan penyampaian kepemilikan harta zakat kepada mereka yang berhak terbagi dalam empat bagian, yaitu sebagai berikut[12]:
1.      pemberdayaan sebagian dari kelompok yang berhak akan harta zakat, misalnya fakir miskin, yaitu dengan memberikan harta zakat kepada mereka sehingga dapat mencukupi dan memenuhi kebutuhan mereka. Selain itu, dengan memberikan modal kepada mereka yang memiliki keahlian tetapi menghadapi kendala berupa keterbatasan modal. Baik fakir msikin maupun mereka yang memiliki keahlian, kepada mereka diberikan harta zakat untuk memberdayakan mereka sehingga mereka dapat memenuhi kebutuhan mereka sendiri. Tentang hal ini, Imam Nawawy mengatakan di dalam bukunya al-Majmû’ dari perkataan jumhur mazhab Syafi’i: Mereka mengatakan bahwa sesuai dengan kebiasaan, orang yang mempunyai profesi tertentu diberikan sesuatu dari harta zakat, dengan maksud agar mereka menggunkannya untuk membeli alat-alat yang mendukung profesionalismenya, baik sedikit maupun banyak. Dengan demikian, mereka mampu memenuhi kebutuhan hidup mereka. Pemberian ini berbeda-beda sesuai dengan profesi, serta kebutuhan masing-masing individu.
2.      Memberdayakan kaum fakir, yakni dengan memberikan sejumlah harta untuk memenuhi kebutuhan hidup serta memberdayakan mereka yang tidak memiliki keahlian apapun. Terkait hal tersebut, almarhum Syaikh Syams al-Dîn al-Ramly mengatakan:
Jika para fakir miskin belum mendapatkan pekerjaan sebagai penunjang hidup mereka, baik dengan profesi maupun berdagang, mereka diberikan bagian dari zakat secukupnya sesuai kebutuhan hidup di negara mereka tinggal dan selama mereka hidup. Karena maksud dari pemberian tersebut hanyalah untuk memenuhi kebutuhan mereka yang belum terpenuhi. Jika umur mereka berlanjut, zakat diberikan tahun demi tahun. Akan tetapi tidak bukan berarti memberikan mereka seperti gaji dari hasil kerja, melainkan memberikan mereka sejumlah uang yang dapat digunakan untuk membeli rumah, yang kemudian mereka gunakan sebagai temapt bekerja, yang akhirnya dapat terlepas dari ketergantungan terhadap zakat.
Sedangkan menurut Imam Ahmad, senada dengan pendapat jumhur Syafi’i, menyatakan bahwa fakir miskin boleh mengambil sesuai kebutuhan dari harta zakat secara terus menerus, baik untuk perdagangan maupun alat-alat yang mendukung profesi mereka. Di dalam kitab lain disebutkan bahwa mereka yang memiliki profesi diberikan sejumlah harta dari zakat sesuai kebutuhan untuk membeli alat-alat pendukung profesi tersebut. Mereka yang berdagang diberikan modal usaha. Sedangkan yang selain dua tersebut di atas, adalah fakir miskin. Kepada mereka diberikan sejumlah harta untuk menutupi kebutuhan hidup yang belum terpenuhi.
3.      Pemberdayaan sebagian kelompok yang berhak akan harta zakat, yang memiliki penghasilan baru dengan ketidakmampuan mereka. Mereka itu adalah pegawai zakat dan para muallaf.
4.      Pemberdayaan sebagian kelompok yang berhak akan harta zakat untuk mewujudkan arti dan maksud zakat sebenarnya selain yang telah disebutkan di atas. Di antaranya adalah hamba sahaya, mereka yang di jalan Allah swt., ibnu sabil, dan memilik banyak utang. Kepada mereka diberikan harta zakat dengan pengawasan dan harus sesuai dengan tujuan diberikannya zakat. Jika mereka menggunakannya kepada selainj tujuan tersebut kemudian mendapat keuntungan, maka semua harta zakat dan keuntungan tersebut wajib dikembalikan.
Berdasarkan hal tersebut, dapat ditarik kesimpualan bahwa zakat merupakan jaminan dan asuransi, sebagaimana berikut:
1) Asuransi yang wajib atas harta, karena perkembangan dan utnuk membersihkannya serta mendapatkan berkah di dalamnya.
2) Jaminan untuk kelompok penerima zakat sehingga kebutuhan hidup mereka terpenuhi.
e.2. Pengaruh Zakat pada Tingkat Permintaan
Jika zakat telah didistribusikan dari mereka yang memiliki penghasilan tinggi (muzaki) kepada mereka yang memiliki penghasilan terbatas, kecenderungan konsumsi dari muzaki menjadi lebih sedikit dari tingkat konsumsi mustahik. Dalam arti bahwa tingkat kesenjangan konsumsi antara si miskin dan si kaya menjadi mengecil. Dengan demikian tingkat konsumsi menjadi semakin besar ketika zakat telah dilaksanakan dibandingkan dengan sebelumnya.
e.3. Pemberdayaan ala Organisasi Pengelola Zakat di Indonesia
Secara spesifik, karakteristik pemberdayaan mustahik melalui dana zakat yang dilakukan oleh organisasi pengelola zakat di Indonesia sedikit berbeda dengan konsep pemberdayaan sebagaimana di atas. Perbedaan tersebut terjadi karena secara historis, lembaga pengelola zakat didominasi oleh organisasi pengelola zakat yang lahir dari kalangan grass root (masyarakat) yang dalam hal ini diwakili oleh Lembaga Amil Zakat (LAZ). LAZ sendiri dibidani oleh individu-individu yang mengcopy sistem Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Meskipun hampir seluruh LAZ dan BAZ (Badan Amil Zakat) yang ada pada umumnya memiliki Dewan Pengawas Syariah, prinsip-prinsip pengelolaan zakat masih kentara dipengaruhi suasana LSM.
Di antara prinsip-prinsip yang diterapkan pada LSM adalah manajemen LSM yang masih bersifat umum (baca: konvensional). Hal ini menyebabkan LSM yang bergerak di bidang pemberdayaan umat seperti LAZ masih dipengaruhi keumuman manajemen LSM tersebut.
Satu di antara kecenderungan LAZ menganut prinsip-prinsip LSM adalah dikenalnya istilah filantropi Islam untuk menyebut organisasi pengelola zakat. Padahal, istilah filantropi sangat berbeda dengan bentuk-bentuk kedermawanan dalam Islam terutama zakat. Mengadopsi istilah filantropi secara mentah-mantah untuk menyebut LAZ berarti menurunkan derajat zakat dari yang pada mulanya merupakan keharusan (wajib) menjadi sesuatu yang sifatnya sukarela (sunah).
Kaitannya dengan pemberdayaan, penyebutan lembaga filantropi Islam untuk institusi Islam yang mengelola zakat, infak dan sedekah (yang telah dikenal sejak zaman Rasulullah dengan istilah (baitul maal) mengakibatkan pola pikir yang keliru dari para amil dalam memberdayakan zakat. Pertama, volume penyaluran dana zakat yang bersifat konsumtif selalu lebih sedikit dibandingkan dengan penyaluran yang sifatnya konsumtif pada hampir seluruh lembaga zakat. Padahal, kualitas mustahik di Indonesia masih banyak yang berada pada tingkatan untuk diberikan bantuan yang sifatnya konsumtif (caritas). Pemberian modal usaha dari lembaga zakat kepada mustahik akan menjadi sia-sia jika tidak melakukan survei terlebih dahulu terhadap mustahik tersebut. Dengan dana yang terbatas, yang oleh lembaga zakat dimaksudkan sebagai modal usaha untuk mengangkat derajat mustahik justru akan membebani mustahik itu sendiri jika kebutuhan pokoknya masih jauh dari cukup.
Kedua, semakin besar volume penyaluran produktif pada lembaga zakat, padahal penyaluran yang bersifat konsumtif lebih mendesak, semakin sedikit pula jumlah mustahik yang tersantuni. Padahal, aliran dana masyarakat sebagai modal usaha seharusnya menjadi tugas lembaga keuangan syariah seperti BPRS, BMT dan Bank Syariah. Dengan demikian, lembaga zakat telah mengambil alih peran lembaga keuangan syariah dan secara langsung kontraproduktif dengan upaya syiar ekonomi Islam secara keseluruhan.


[1] Yang berhak menerima zakat Ialah: 1. orang fakir: orang yang Amat sengsara hidupnya, tidak mempunyai harta dan tenaga untuk memenuhi penghidupannya. 2. orang miskin: orang yang tidak cukup penghidupannya dan dalam Keadaan kekurangan. 3. Pengurus zakat: orang yang diberi tugas untuk mengumpulkan dan membagikan zakat. 4. Muallaf: orang kafir yang ada harapan masuk Islam dan orang yang baru masuk Islam yang imannya masih lemah. 5. memerdekakan budak: mencakup juga untuk melepaskan Muslim yang ditawan oleh orang-orang kafir. 6. orang berhutang: orang yang berhutang karena untuk kepentingan yang bukan maksiat dan tidak sanggup membayarnya. Adapun orang yang berhutang untuk memelihara persatuan umat Islam dibayar hutangnya itu dengan zakat, walaupun ia mampu membayarnya. 7. pada jalan Allah (sabilillah): Yaitu untuk keperluan pertahanan Islam dan kaum muslimin. di antara mufasirin ada yang berpendapat bahwa fisabilillah itu mencakup juga kepentingan-kepentingan umum seperti mendirikan sekolah, rumah sakit dan lain-lain. 8. orang yang sedang dalam perjalanan yang bukan maksiat mengalami kesengsaraan dalam perjalanannya.
[2] DR. Yusuf Qardawi. Hukum Zakat. Jakarta: Litera AntarNusa, 83
[3]Ibid, 44
[4] Nasar, M. Fuad (2006). Pengalaman Indonesia dalam Mengelola Zakat: Sejarah, Realitas Baru dan Orientasi Masa Depan. Jakarta: Penerbit UI-Press.cet.Ke-1, h.11
[5] Sumodiningrat, Goenawan (1998). Membangun Perekonomian Rakyat, makalah.
[6] Alfian, Mely. G. Tan dan Selo Soemardjan (1980). Kemiskinan Struktural: Suatu Bunga Rampai. Yayasan Ilmu-Ilmu Sosial, cetakan pertama 1980, Jakarta hal. 179
[7] Koran Tempo, 16 November 2007.
[8] Hirata, Andrea (2006). Laskar Pelangi. Pustaka Bentang: Yogyakarta.
[10] Alfian, Mely. G. Tan dan Selo Soemardjan (1980), 179-181
[11] DR. Yusuf Qardawi. Hukum Zakat, 85-86
[12] Al-Ba’ly, Dr. Abdul Al-Hamid Mahmud (2006). Ekonomi Zakat: Sebuah Kajian Moneter dan Keuangan Syariah. Jakarta: RajaGrafindo Persada, hal. 84

0 komentar:

Posting Komentar

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More