Rabu, 01 Juni 2011

Tuhan Alam ala Filosof Muslim



PENDAHULUAN
Manusia sebagai ciptaan yang sempurna dianugrahkan akal untuk berfikir. Oleh karenanya, akal selalu menuntut manusia untuk terus befikir tentang diri dan sekitarnya. Termasuk pula aspek penting semisal ketuhanan. Dalam hal ini, para filsuf muslim mencoba mengantarkan nalar manusia untuk memahami-Nya lebih dalam.

A.    MAKNA KETUHANAN

AL KINDI
Al-Kindi adalah filosof muslim yang mempercayai kepada kemampuan akal untuk memperoleh pengetahuan yang benar. Ia merupakan peletak pertama fondasi filsafat islam. Al-Kindi juga menegaskan bahwa filsafat sama sekali tidak bertentangan dengan agama.
Dalam konsepsinya tentang ketuhanan, pertama-tama ia memaparkan tentang makna wujud. Dalam pandangannya, wujud terbagi menjadi dua bagian. Pertama, wujud yang mukmin, atau wujud yang nyata karena adanya lainya (wajibul wujud li ghairihi). Kedua, wujud yang nyata dengan sendirinya (wajibul wujud li dzatihi). menurutnya, tuhan termasuk dalam wajibul wujud li dzatihi. Dengan kata lain, keberadaan tuhan tidak dipengaruhi hukum kausalitas dimana Dia dituntut adanya sebab dari keberadaan-Nya.[1]
Dalam metafisika ia menjelaskan bahwa alam ini partikuler (juz’iyah/aniyah) yang segalanya itu terdapat materi hakiki yang disebut universal (kulliyah/mahiyah). Berbeda dengan Aristoteles yang menyatakan bahwa Tuhan itu adalah penggerak pertama (real agent), sedangkan al-Kindi menyatakan bahwa Tuhan itu adalah Pencipta. Tuhan tidaklah terdiri dari aniyah ataupun mahiyah. Tuhan tidak sama dengan alam, dan tidak tersusun atas genus dan spesies, yang menyebabkan kefanaan. Dia Esa dan Maha Suci dari jamak dan fana.[2]
 Karena tuhan tunggal sama sekali, maka batasan (definisi) tentang Dia tidak dapat diberikan sama sekali, karena batasan berarti suatu penyusunan, yaitu dengan memakai spesies dan diferential (an-nau’ wa al-fashl). Atau dengan memakai hule dan form, seperti halnya dengan benda. Sedang hal seperti itu mustahil bagi Allah.[3]
Jadi Al-Kindi menetapakan bahwa Al-Ba’ri (tuhan) punya sifat-sifat zat, Af’al dan negasi, seperti  yang disebutkan di dalam atsar dan apa yang di pegangi oleh Mu’tazilah tetapi ia mengembalikan semua itu kepada zat untuk menggemakan ide monoteisme. Karena sifat-sifat itu bukan sesuatu yang bisa dibedakan dan dipisahkan dari zat. 
Untuk membuktikan tentang wujud tuhan, Al-Kindi berpijak pada adanya gerak, keanekaan, dan keteraturan alam sebagaimana argumentasi yang sering di kemukakan oleh filosof Yunani.
Sehubungan dengan dalil gerak, Al-Kindi mengajukan pertanyaan sekaligus memberikan jawaban-nya dalam ungkapan berikut:
“mungkinkah sesuatu menjadi sebab adanya sendiri, ataukah hal itu tidak mungkin? Jawaban-nya: Yang demikian itu tidak mungkin, dengan demikian, alam ini adalah baru, ada permulaan dalam waktu, demikian pula alam ini ada akhirnya, oleh karena-nya alam ini harus ada yang menciptakannya”. Argument Al-Kindi ini sejalan dengan argument Aristoteles tentang Causa Prima dan penggerak pertama. Penggerak yang tidak bergerak. Dari segi agama, argument Al-Kindi itu sejalan dengan argument ilmu Kalam. Alam berubah-ubah, semua yang berubah-ubah adalah baru. Maka alam adalah ciptaan yang mengharuskan ada penciptaan-nya. Yang menciptakan dari tiada.
Mengenai dalil keteraturan alam wujud sebagai bukti adanya tuhan. Al-Kindi mengatakan bahwa keteraturan alam inderawi tidak mungkin terjadi kecuali dengan adanya dzat yang tidak terlihat, dan dzat yang tidak terlihat itu tidak mungkin diketahui adanya kecuali dengan adanya keteraturan dan bekas-bekas yang menunjukkan adanya yang terdapat dalam alam ini. Argument demikian ini di sebut argument teologik yang pernah juga di gunakan Aristoteles, tetapi juga bisa diperoleh dari adanya ayat-ayat Al-Qu’an.
Dalam membuktikan eksistensi Tuhan, al-Kindi kadang-kadang menggunakan argumen teologis, yang selalu meperoleh keunggulan istimewa dalam lingkungan dimana perasaan agama dan estetik telah begitu intens. Meskipun begitu, argumen tentang bermulanya dunia yang banyak ia gunakan. Sesungguhnya keterbatasan waktu dan gerak diajukan al-Kindi sebagai petunjuk terhadap bermulanya dunia dan waktu (huduts), dan selanjutnya digunakan sebagai petunjuk terhadap eksistensi penciptanya. Karena itu, setelah menetapkan bahwa mustahil dunia ini tak terbatas dan bersifat abadi, maka kesimpulannya bahwa “karena itu dunia haruslah ditimbulkan (muhdats) dari kebutuhan yang mendesak (necessity), adapun apa yang ditimbulkan oleh seorang yang menimbulkan (muhdits) karena yang menimbulkan dan yang ditimbulkan merupakan term-term yang korelatif. Dunia sebagai satu keseluruhan haruslah ditimbulkan dari tiada”.
Bagian yang masuk akal dari argumen al-Kindi muncul dari uraian (keterangan) linguistik murni, bahwa stilah Arab “muhdats” bila diterapkan pada dunia, dan yang sengaja telah diterjemahkan sebagai “ditimbulkan, ketimbang diciptakan” untuk menghilangkan kesan yang jelas tentang adanya perulangan (circurality), menimbulkan konotasi ganda tentang penciptaan ex nihilo dan dalam waktu. Jelas bahwa konotasi yang pertama akan menghasilkan tidak lebih dari sebuah kesimpulan tautologis karena jika dianggap bahwa dunia itu diciptakan, secara verbalnya adalah bahwa ia harus mempunyai pencipta. Tetapi dengan argumen yang kedua, argumen itu bisa mempunyai daya yang meyakinkan lebih besar, dan keabsahannya tergantung sama sekali kepada apakah premis mayor itu telah berhasil dibangun atau belum dan argumen ini mengaju kepada tesis helenik dan helenistik tradisional tentang alam semesta yang abadi seperti yang diajukan oleh Aristoteles dan Proclus.[4]

IBNU RUSYD
Tuhan yang dikonsepsikan oleh Averroes adalah Tuhan yang tidak mengetahui hal-hal yang partikular. Tuhan yang tidak tahu (atau tidak mau tau?) hal-hal yang menjadi pergumulan keseharian manusia, apakah persoalan pribadi atau tatanan alam setelah ia menciptakannya. Tuhan Averroes adalah Tuhan yang hanya mengurus hal-hal yang general seperti penciptaan alam dan penetapan hukum-hukum alam yang menjaga keseimbangan alam dan makhluk yang hidup di dalamnya.
Tuhan ala Averroes yang rasional adalah Tuhan yang menjadi inspirasi dari para pemikir peletak dasar Pencerahan Eropa, karya-karyanya (yang kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Latin) dibaca luas, tetapi meresahkan para agamawan (Islam, dan juga Katolik), hingga St. Thomas Aquinas pada waktu itu (yang secara tidak langsung adalah Ghazalian) sampai harus menulis buku yang menyerang pengikut Averroes (buku Aquinas ini diterjemahkan oleh Beatrice Zedler dengan judul On The Unity of the Intellect against the Averroist (Milwaukee: Marquette University Press, 1968)
Doktrin utama filsafat Ibn Rusyd yang membuatnya dicap sebagai murtad berkaitan dengan keabadian dunia, sifat pengetahuan Tuhan dan kekekalan jiwa manusia dan kebangkitannya.[5]
Terhadap doktrin keabadian dunia, dia tidak menolak prinsip penciptaan (creation), tapi hanya menawarkan satu penjelasan yang berbeda dari penjelasan para teolog. Ibn Rusyd memang mengakui bahwa dunia itu abadi, tapi pada saat yang sama membuat pembedaan yang sangat penting antara keabadian Tuhan dengan keabadian dunia. Ada dua macam keabadian: keabadian dengan sebab dan keabadian tanpa sebab. Dunia bersifat abadi karena adanya satu agen kreatif yang membuatnya abadi. Sementara, Tuhan abadi tanpa sebab. Lebih dulunya Tuhan atas manusia tidak terkait dengan waktu. Keberadaan Tuhan tidak ada kaitannya dengan waktu karena Dia ada dalam keabadian yang tak bisa dihitung dengan skala waktu. Lebih dulunya Tuhan atas dunia ada dalam keberadaan-Nya sebagai sebab yang darinya muncul semua keabadian.
Bagi Ibn Rusyd, tidak ada creatio ex nihilio, tapi penciptaan adalah proses perubahan dari waktu ke waktu. Menurut pandangan ini, kekuatan kreatif terus-menerus bekerja dalam dunia, menggerakannya dan menjaganya. Adalah mudah untuk menyatukan pandangan ini dengan konsep evolusi.
Dalam pandangannya tentang pengetahuan Tuhan, Ibn Rusyd menyatakan bahwa dalam mengetahui Dirinya sendiri, Tuhan mengetahui segala sesuatu yang ada bedasarkan Wujud itu yang merupakan sebab bagi eksistensi segala sesuatu. Dengan begitu, Wujud Pertama mengetahui segala wujud partikular melalui Dirinya sendiri.[6]

B.     TEORI EMANASI
AL-FARABI
Kalau kaum Mu’tazilah dalam usaha memurnikan tauhid pergi ke peniadaan sifat – sifat Tuhan dan kaum sufi ke peniadaan wujud selain dari wujud Allah swt, maka kaum filosof Islam yang dipelopori al-Farabi, pergi ke faham emanasi atau al-faidh. Lebih dari mu’tazilah dan kaum sufi, al-Farabi berusaha meniadakan adanya arti banyak dalam diri Tuhan. Kalau Tuhan berhubungan langsung dengan alam yang tersusun dari banyak unsur ini, maka dalam pemikiran Tuhan terdapat pemikiran yang banyak. Pemikiran yang banyak membuat faham tauhid tidak murni lagi. Menurut al-Farabi, Allah menciptakan alam ini melalui emanasi, dalam arti bahwa wujud Tuhan melimpahkan wujud alam semesta. Emanasi ini terjadi melalui tafakkur (berfikir) Tuhan tentang dzat-Nya yang merupakan prinsip dari peraturan dan kebaikan dalam alam. Dengan kata lain, berpikirnya Allah swt tentang dzat-Nya adalah sebab dari adanya alam ini. Dalam arti bahwa ialah yang memberi wujud kekal dari segala yang ada. Berfikirnya Allah tentang dzatnya sebagaimana kata Sayyed Zayid, adalah ilmu Tuhan tentang diri-Nya, dan ilmu itu adalah daya (al-Qudrah) yang menciptakan segalanya, agar sesuatu tercipta, cukup Tuhan mengetahuinya.
Dalam  diri  yang  esa  atau Akal I inilah mulai terdapat arti banyak. Obyek  pemikiran  Akal  I  adalah  Tuhan  dan  dirinya sendiri.  Pemikirannya  tentang Tuhan menghasilkan Akal II dan pemikirannya tentang dirinya menghasilkan Langit Pertama. Akal II  juga  mempunyai  obyek  pemikiran, yaitu Tuhan dan dirinya sendiri. Pemikirannya tentang Tuhan menghasilkan Akal III  dan pemikirannya   tentang   dirinya   sendiri  menghasilkan  Alam Bintang. Begitulah Akal selanjutnya berfikir tentang Tuhan dan menghasilkan  Akal  dan  berpikir  tentang dirinya sendiri dan menghasilkan  planet-planet.  Dengan   demikian   diperolehlah gambaran berikut:
Akal III menghasilkan Akal IV dan Saturnus.
Akal IV menghasilkan Akal V dan Yupiter.
Akal V menghasilkan Akal VI dan Mars.
Akal VI menghasilkan Akal VII dan Matahari.
Akal VII menghasilkan Akal VIII dan Venus.
Ak al VIII menghasilkan Akal IX dan Merkuri.
Akal IX menghasilkan Akal X dan Bulan.
Akal X menghasilkan hanya Bumi.
Pemikiran Akal X tidak  cukup  kuat  lagi  untuk  menghasilkan Akal.
Demikianlah  gambaran  alam  dalam astronomi yang diketahui di zaman Aristoteles dan zaman al-Farabi, yaitu alam yang terdiri atas  sepuluh falak. Pemikiran Akal X tentang Tuhan tidak lagi menghasilkan Akal, karena tidak  ada  lagi  planet  yang  akan diurusnya.  Memang  tiap-tiap  Akal  itu  mengurus planet yang diwujudkannya.  Akal  dalam  pendapat  filsuf   Islam   adalah malaikat.
Begitulah   Tuhan  menciptakan  alam  semesta  dalam  falsafat emanasi  al-Farabi.  Tuhan  tidak  langsung  menciptakan  yang banyak ini, tetapi melalui Akal I yang esa, dan Akal I melalui Akal II, Akal II melalui Akal III dan  demikianlah  seterusnya sampai ke penciptaan Bumi melalui Akal X.
Tuhan  tidak  langsung  berhubungan dengan yang banyak, tetapi melalui Akal atau malaikat. Dalam diri  Tuhan  tidak  terdapat arti  banyak,  dan  inilah  tauhid  yang  murni dalam pendapat al-Farabi, Ibn Sina  dan  filsuf-filsuf  Islam  yang  menganut paham emanasi.[7]

IBNU SYNA
Sebagaimana Al-Farabi, Ibnu Sina juga menganut faham pancaran. Dari Tuhan memancar akal pertama, dan dari akal pertama memancar akal kedua dan langit pertama, demikian seterusnya sehingga tercapai akal ke sepuluh dan bumi. Dari akal ke sepuluh memancar segala apa yang terdapat di bumi yang berada dibawah bulan. Akal pertama adalah malaikat tertinggi dan akal kesepuluh adalah Jibril.
Ibnu Sina berpendapat bahwa akal pertama mempunyai dua sifat : sifat wajib wujudnya sebagai pancaran dari Allah, dan sifat mungkin wujudnya jika ditinjau dari hakekat dirinya atau necessary by virtual of the necessary being and possible in essence. Dengan demikian ia mempunyai tiga obyek pemikiran : Tuhan, dirinya sebagai wajib wujudnya dan dirinya sebagai mungkin wujudnya. Dari pemkiran tentang Tuhan timbul akal - akal dari pemikiran tentang dirinya sebagai wajib wujudnya timbul jiwa - jiwa dari pemikiran tentang dirinya sebagai mungkin wujudnya timbul di langit. Jiwa manusia sebagaimana jiwa - jiwa lain dan segala apa yang terdapat di bawah Bulan, memancar dari akal ke sepuluh.
Pemikiran ini berbeda dengan pemikiran kaum sufi dan kaum mu’tazilah. Bagi kaum sufi kemurnian tauhid mengandung arti bahwa hanya Tuhan yang mempunyai wujud. Kalau ada yang lain yang mempunyai wujud hakiki disamping Tuhan, itu mengandung arti bahwa ada banyak wujud, dan dengan demikian merusak tauhid. Oleh karena itu mereka berpendapat : Tiada yang berwujud selain dari Allah swt. Semua yang lainnya pada hakikatnya tidak ada. Wujud yang lain itu adalah wujud bayangan. Kalau dibandingkan dengan pohon dan bayangannya, yang sebenarnya mempunyai wujud adalah pohonnya, sedang bayangannya hanyalah gambar yang seakan – akan tidak ada. Pendapat inilah kemudian yang membawa kepada paham wahdat al-wujud (kesatuan wujud), dalam arti wujud bayangan bergantung pada wujud yang punya bayangan. Karena itu ia pada hakekatnya tidak ada; bayangan tidak ada. Wujud bayangan bersatu dengan wujud yang punya bayangan. 

KESIMPULAN 
Al-Kindi memaknai tuhan sebagai wajibul wujud li dzatihi. Sebuah konsep yang menolak kausalitas dari keberadaan Tuhan. Mereka beranggapan bahwa tuhan ada karena dirinya sendiri. Tidak ada sebab yang mendahuluinya. Dalam kaitannya dengan alam, al-Kindi mangartikan tuhan tidak sama dengan alam. Ia bukan merupakan partikel maupun materi universal. Oleh karena itu, Tuhan bermakna sebagai sang pencipta. Maka, tuhan berbeda dengan makhluknya.
Tuhan bagi Averroes adalah Tuhan yang hanya mengurus hal-hal yang general seperti penciptaan alam dan penetapan hukum-hukum alam yang menjaga keseimbangan alam dan makhluk yang hidup di dalamnya.
Dalam analisanya tentang alam, ia memandang dunia sebagai sesuatu yang abadi. Dunia bersifat abadi karena adanya satu agen kreatif yang membuatnya abadi. Sementara, Tuhan abadi tanpa sebab. Hal ini senada dengan anggapan al-Kindi, bahwa tuhan terlepas dari pengaruh kausalitas. 
Dalam konsep emanasi al-Farabi dan Ibnu Sina, keberadaan alam tidak lain merupakan hasil tafakkur Tuhan atas Dzat-Nya. Selaras dengan Averroes, keduanya juga memaknai alam sebagai sesuatu yang abadi.


[1] Ahmad Hanafi, Pengantar Filsafat Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1996), h. 68
[2] H.A. Mustofa, Filsafat Islam, (Bandung:Pustaka Seta,1997), Cet.1, h.107-108
[3] Ahmad Hanafi, ibid. h. 69
[4] Majid Fakhry, Sejarah Filsafat Islam, (Jakarta:Pustaka Jaya,1986), Cet.1, h.154
[5] G. Sarton, “Introduction of the History of Science, vol. II (Baltimore, 1931), 356.
[6] Majid Fakhry, Sejarah Filsafat Islam, ter. Mulyadhi Kartanegara (Jakarta: Pustaka Jaya, 1987), 392-393
[7] http://media.isnet.org/islam/Paramadina/Konteks/FilsafatIslam1.html

0 komentar:

Posting Komentar

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More