Rabu, 01 Juni 2011

Demokrasi Pasca Bom Bali


 Demokrasi Pasca Bom Bali
Oleh : Zainur Rahman

A.      Pengertian Demokrasi
Secara Etimologis “Demokrasi” terdiri dari dua kata yunani yaitu “Demos” yang berarti rakyat atau penduduk suatu tempat. Dan “cratein” atau “cratos” yang berarti kekuasaan atau kedaulatan. Gabungan dua kata demoscratein atau demoscratos (demokrasi) memiliki arti suatu keadaan negara dimana dalam sistem pemerintahannya kedaulatan berada di tangan rakyat, kekuasaan tertinggi berada dalam keputusan bersama rakyat, rakyat berkuasa, pemerintahan rakyat dan kekuasaan oleh rakyat.
Sedangkan pengertian demokrasi secara istilah atau terminologi menurut Josep A. Schmeter demokrasi merupakan suatu perencanaan institusional untuk mencapai keputusan politik dimana individu-individu memperoleh kekuasan untuk memutuskan cara perjuangan kompetitif atas suara rakyat. 
Menurut Sidney Hook berpendapat demokrasi adalah bentuk pemerintahan dimana keputusan pemerintah yang penting secara langsung atau tidak langsung didasarkan pada kesepakatan mayoritas yang diberikan secara bebas dari rakyat dewasa.
Dari beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa sebagai suatu sistem bermasyarakat dan bernegara hakikat demokrasi adalah peran utama rakyat dalam proses sosial dan politik. Dengan kata lain, sebagai pemerintahan di tangan rakyat mengadung pengetian tiga hal:
1)      pemerintahan dari rakyat
pemerintahan dari rakyat mengandung pengertian bahwa suatu pemerintahan yang sah adalah suatu pemerintahan yang mendapat suatu pengakuan dan dukungan mayoritas rakyat melalui mekanisme demokrasi, pemilihan umum.
2)      Pemerintahan oleh rakyat
Pemerintahan oleh rakyat memiliki pengertian bahwa suatu pemerintahan menjalankan kekuasaannya atas nama rakyat bukan atas dorongan elit negara atau elit birokrasi. Selain itu pemerintahan berfungsi sebagai pengawas rakyat (social control)
3)    Pemerintahan untuk rakyat
Pemeritahan untuk rakyat mengandung pengertian bahwa kekuasaan yang diberikan oleh rakyat kepada pemerintah harus dijalankan untuk kepentingan rakyat. Kepentingan rakyat umum harus dijadikan landasan utama kebijakan sebuah pemerintahan yang demokratis.

B.       Latar Belakang Bom Bali
Islam dan demokrasi peristiwa penghancuran gedung WTC dan markas Militer Amerika Serikat 11 September 2001 seolah menunjukkan bahwa islam dan demokrasi sebagai produk barat tidak bisa disandingkan. Beberapa tokoh barat seperti Max Tackhouse bahkan mengklaim Islam sebagai tradisi Agama yang tidak sesuai dengan konsepsi demokrasi. Tokoh dan teoritis islam Ali Benhadj dan Sayyid Quthb, juga memberikan legitimasi bahwa Islam dan demokrasi tidak kompatibel.
Sebagai bagian dari dunia muslim, kenyataan seperti itu juga berlaku di Indonesia. Hal ini bisa dilihat dari kecenderungan parpol-parpol yang menggunakan asas Islam untuk menggantikan asas pancasila. Parpol-parpol Islam dan kelompok Islam ini, mengatasnamakan ‘amar Ma’ruf nahi mungkar.  Sikap skeptis seperti itu berkaitan erat dengan kenyataan tidak efektifnya negara dalam melindungi rakyatnya. Hal ini akan menjadikan demokrasi kehilangan legitimasi masyarakat.
Secara konseptual maupun secara historis hubungan antara Islam dan demokrasi dapat di pilah menjadi tiga bagian:
1)   Beberapa hal yang menjadi keberatan kelompok bahwa Islam dan demokrasi suatu incompatible (adanya perbedaan) terutama dalam soal kedaulatan tuhan. Meski demikian prinsip mayoritas dalam demokrasi tidak sama dengan kesesatan keagamaan seperti terjadi pada masyarakat kafir, legislasi tidak berarti penetangan terhadap hukum tuhan karena legislasi di parleman dalam persoalan yang belum jelas aturannya dalam syari’ah; dan larangan meminta kekuasaan seperti yang terdapat dalam hadist, sebagaiman menurut Alhatib, dalam pengertian ambisius dan rakus.
2)   Reinterpretasi historis terhadap realita sejarah politik islam terutama untuk klasik dan pertengahan dalam perspsektif demokrasi. Prinsip- prinsip demokrasi secara esensial telah juga dipraktekkan Islam sejak dini. Nabi Muhammad misalnya, mendapatkan kekuasaan politiknya bukan lewat kenabian tetapi lewat apa yang disebut kontrak sosial dengan hak-hak almiah rakyat yang tersisa, yaitu lewat Bait Aqabah dan perjanjian Madinah.
Walhasil, meskipun konsep yang dipahami kaum muslim dan sejarah politiknya tidak selamanya sejalan dengan demokrasi liberal barat yang dalam setting historis mereka, tetapi kesimpuylan yang diperoleh dari esensinya compatible, dapat viable dan mesti dilihat sebagai kelanjutan atau pengembangan sajadari model demokrasi Islam. 

C.      Padangan Masyarakat Indonesia mengenai Bom Bali
Banyak kalangan yang khawatir bahwa dieksekusinya Amrozi dkk akan melambungkan status mereka sebagai seorang “syahid” atau martir di mata umat Islam. Beberapa kalangan was-was jika mereka dihukum mati, alih-alih akan memotong akar-akar ideologi kekerasan, hukuman itu justru akan membuat ideologi mereka menjadi menarik di mata umat Islam, terutama di kalangan anak-anak muda.
Menurut saya, kekhawatiran semacam ini sama sekali tak beralasan. Untuk sementara, mungkin saja kematian Amrozi dkk akan menaikkan emosi umat Islam, terutama kalangan yang sejak dari awal memiliki simpat pada ideologi para pelaku pengeboman di Bali itu, meskipun tak serta merta mesti setuju dengan tindakan mereka. Tetapi, lambat-laun, Amrozi dkk akan hilang dari memori umat Islam. Dalam beberapa tahun saja, nama Amrozi, Imam Samudra, dan Ali Imron akan segera dilupakan oleh umat Islam.
Salah satu perkembangan menarik setelah peristiwa 9/11 adalah bahwa hampir terjadi penolakan serentak di semua kalangan umat Islam, terutama kalangan yang moderat yang merupakan mayoritas dalam umat Islam, terhadap ideologi Al-Qaidah. Meskipun kita menjumpai simpati terhadap figur Osama bin Ladin di sebagian kalangan Islam, tetapi secara umum kita melihat suatu penolakan yang nyaris kompak terhadap tindakan Osama itu. Ratusan ulama dari berbagai sudut dunia Islam mengeluarkan fatwa yang dengan serentak menolak dan mengutuk tindakan para pelaku terorisme yang memakai nama Islam. Di mana-mana, kita mendengar suatu penegasan yang nyaris kategoris bahwa Islam adalah anti tindakan teoriristik, apalagi jika membawa korban masarakat sipil yang sama sekali tak berdosa (al-abriya’).
Di Indonesia sendiri, setelah bom Bali, kita mendengar kutukan yang serentak dari semua tokoh-tokoh agama dan masyarakat, terutama kalangan Islam, terhadap tindakan nista itu. Memang ada banyak kalangan Islam yang secara apologetik mencari-cari alasan yang secara tak langsung hendak “memahami” dan, dengan demikian, secara implisit juga “membenarkan” tindakan pengeboman itu. Tetapi, suara dominan di kalangan Islam hampir seluruhnya menyatakan bahwa tindakan Amozi dkk itu salah secara kategoris dari sudut pandang ajaran Islam.
Dengan kata lain, kalangan Islam arus utama sama sekali tak memberikan persetujuan atas tindakan kekerasan itu. Simpati terhadap Amrozi dkk tentu ada.
Sejumlah kalangan Islam juga mencoba memahami tindakan Amrozi dkk dalam kerangka “teori konspirasi” di mana pihak Barat (dalam hal ini Amerika dan sekutunya) dipandang sebagai yang berada di balik peristiwa itu. Tetapi, “apologetisme” semacam itu sama sekali tak bisa menolak fakta bahwa kalangan arus utama dalam Islam tetap mengutuk tindakan kekerasan tersebut. Ideologi Amrozi dkk sama sekali tak didukung oleh umat Islam arus utama.

D.      Pengaruh Bom Bali Terhadap Demokrasi
Sebuah tindak kekerasan yang terjadi sebagai ekspresi antagonisme kelompok. Kasus ini menjadi krusial bukan saja pada kuantitas korban atau skala peristiwa, tapi lebih pada kecenderungan eskalasi kekerasan yang sangat mudah dilakukan oleh segerombolan orang atas nama apapun. Dan rusaknya demokrasi pada sutu negara.
Ini bisa menjadi benih terjadinya efek domino tindak kekerasan lainnya. Karena itu, peran negara dibutuhkan untuk menetralisasi setiap kecenderungan kekerasan yang terjadi di masyarakat. Upaya menetralisasi tersebut tidak sekadar optimalisasi peran aparat keamanan. Tapi juga peran segala pihak dari pemerintahan, tokoh agama dan opinion leader di
tingkat lokal. Ini terutama untuk memberikan pemahaman bahwa penggunaan kekerasan bukan cara yang baik guna mencapai tujuan politik. Dan memberikan motivasi secara kolektif baik secara struktural (ketersediaan sistem) maupun kultural (kesepahaman) untuk mengawal kedamaian warga di tengah menguatnya kepentingan kelompok.
Dalam konteks itu, maka pernyataan keras Presiden Susilo Bambang Yudhoyono terhadap tindak kekerasan merupakan modal awal (political will) untuk mengeliminasi segala bentuk kekerasan. Ia memerlukan kaki untuk mengefektifkan kerja-kerja keharmonisan sosial. Karena itu, political will akan optimal dan efektif apabila didukung oleh pemahaman masyarakat terhadap nilai-nilai kebangsaan yang plural. Inilah yang sampai saat ini belum mencapai optimalitas, sehingga kekerasan akibat ketidaksiapan menerima perbedaan sering muncul.
 Kekerasan dan segala tindak penyimpangan yang melanggar hukum publik merupakan pelecehan dan ancaman terhadap eksistensi negara yang multikultural. Bahkan secara tidak langsung Presiden SBY menyebutnya sebagai bentuk kekalahan. Pertanyaan besarnya, apakah bangsa ini, baik pada level elite maupun grassroot menyadari tentang pelecehan dan kekalahan tersebut? Pertanyaan ini penting karena secara faktual masih sering terjadi simpang jalan antara wacana dan fakta (praktik) kebangsaan. Begitu semaraknya kita menyambut 100 tahun kebangkitan nasional. Begitu antusiasnya kita merayakan hari kelahiran Pancasila. Tapi begitu rentannya soliditas antar kita. Begitu rapuhnya solidaritas antar warga. Ikatan kebangsaan hanya pada simbol, selebihnya hanya wacana.
Mereka (pelaku terorisme) kerap memanfaatkan situasi ketidakpastian dan kecemasan masyarakat untuk menyatakan ketidakmampuan pemerintah dalam mengambil tindakan yang cepat dan responsif. Dulu, dalam setiap aksi terorisme, terdapat pihak yang mengaku bertanggung jawab, dengan tujuan akan ditempuh proses negosiasi untuk
menempati posisi tawar-menawar yang lebih tinggi. Saat ini tidak ada pihak yang mengaku sebab tujuan mereka semata-mata
hanya untuk menimbulkan rasa takut dan lebih bersifat jangka panjang.
Pemerintah sebagai penyelenggara keamanan nasional secara naluriah akan mengedepankan isu-isu seperti ruang gerak organisasi, kewenangan ekstra, hingga metode kerja khusus. Masyarakat sipil juga secara naluriah akan memunculkan kekhawatiran tentang kewenangan yang meluas, pemberangusan kebebasan sipil, hingga munculnya kembali institusi represif regim otoritarian.
Sistem demokrasi di republik ini juga belum sepenuhnya berjalan akibat loncatannya yang terlalu jauh ke depan, sementara masyarakat belum siap karena tingkat kepatuhan hukum masih rendah. Malah tingkat kepatuhan pada etika sosial sangat memprihatinkan. Ini semua menyebabkan kehidupan berdemokrasi belum bisa dikerjakan sepenuhnya, ungkap Prof Dr Bijah Subijanto, Guru Besar Universitas Pancasila Jakarta.
Dengan demikian, ke depan, yang harus dirancang oleh Badan Intelijen Negara (BIN) adalah strategi yang komprehensif untuk menangani terorisme yang bersifat jangka panjang. Pusat perhatian meliputi persoalan sosial ekonomi, kultural, menciptakan saling pengertian dalam kehidupan antarwarga, memberikan sentuhan demokrasi, serta kemungkinan mendapatkan keadilan dan kesejahteraan ekonomi.
Selain itu, upaya lain sebagai alternatif adalah counter terorism dengan menggunakan sarana hukum, meningkatkan kewaspadaan dalam proses keamanan dalam negeri, dan mempertahankan kesia Dalam suatu sistem demokrasi, distribusi kekuasaan diimbangi dengan upaya untuk mengembangkan kompetensi utama setiap insitusi negara sehingga didapat suatu sistem ketatanegaraan yang efiisien dan efektif.
 Kegiatan itu dipandang perlu agar umat tak menafsirkan  sesuatu hanya secara tekstual, yang buntutnya memunculkan kaum militan  yang melakukan segala sesuatu dengan dalih menjalankan perintah Tuhan, tetapi pada akhirnya menimbulkan banyak konsekuensi, termasuk jatuhnya  korban tidak berdosa.
Yang memiliki otoritas untuk melakukan hal tersebut bukanlah polisi, politisi, atau panglima, melainkan tokoh agama dan opinion leader di  tingkat lokal. Ini terutama untuk memberikan pemahaman bahwa penggunaan kekerasan bukan cara yang baik guna mencapai tujuan politik.
Mustahil berbicara demokrasi jika hukum tidak tegak. Hukum dan demokrasi ibarat dua sisi dari satu keping mata uang.  Di negara demokrasi maju seperti Amerika dan Inggris, hukum sangat dihargai. Siapa bersalah akan ditindak. Setidak-tidaknya law enforcement di Amerika jauh lebih baik dibandingkan negara-negara berkembang. Di negara Singapura hukum memang tegak, tetapi kebebasan rakyat dalam mengeluarkan pendapat tidak bisa seperti di negara maju
Demokrasi yang berhasil mestinya juga mengandaikan terwujudkan keadilan sosial. Mustahil demokrasi akan memuaskan publik jika publik masih miskin, pengangguran masih tinggi dan keterbelakangan masih menghantui sebagian besar warga negara. Karena itu keadilan sosial merupakan pilar penting bagi demokrasi. Memang keadilan sosial seperti yang digambarkan Karl Marx sulit terwujud, akan tetapi demokrasi yang ideal harus memastikan tidak adanya warga negara yang terabaikan hak-haknya, baik hak sipil dan politik maupun hak ekonomi, sosial dan budaya (eksosob). 



DAFTAR PUSTAKA
  1. Abdalla, Ulil Abshar. (http:///Gagalnya%20Ideologi%20Kekerasan%20Dalam%20Islam%20-%20JIL%20Edisi%20Indonesia.htm),Gagalnya Ideologi Kekerasan Dalam Islam”. 
  2. Azra, Azyumardi, Konflik Baru Antar Peradaban Globalisasi, Radikalisme & Pluralitas.                Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, (2002) 
  3. Azwar, Nasrul. (http://www.kompas.com/kompas-cetak/0405/08/Fokus/1012755.htm), Demokrasi (Masih) Berbasis Primordialisme,31 oktober 2007.  
  4. Fahmi, Khairul.(http:///I:/ dilema-intelijen-velox-et-exactus-di.html),” Dilema Intelijen: 'Velox et Exactus' di Alam Demokrasi”, 18 Maret 2008.   
  5. Hidayat, Komaruddin dan Azmyumardi Azra. Demokrasi Hak asasi Manusia dan Masyarakat Madan. Jakarta Selatan: ICCE UIN Syarif Hidayatullah Kerjasama The Asian Fondation, (2006)    
  6. Hook, Sidney. “Democracy” dalam The Encyclopedia Americana, Edisi Internasional. New York: Americana Corp., (1975)   
  7. Ihsan, A. Bakir. “Agenda Menormalkan Negara”,  Koran Tempo, (Minggu, 6 Juli 2008).   
  8. -----------------. “Anarkisme dalam Demokrasi”, Media Indonesia, (Jum’at, 18 Juli 2008).    
  9. Kamil, Sukron. Islam dan Demokrasi: Telaah Konseptual & Historis. jakarta: Penerbit Gaya Media Pratama, (2002): III.    
  10. Sabirin, Rahimi. (http:///HarianBangsa/ demokrasi%20bom.htm), “Demokrasi, Kekerasan, dan Penegakan Hukum”, 09 February 2007.  
  11. Schumpeter, Joseph A. Capitalism, Socialism, and Democracy. London: George Allen and Unwin Ltd, (1943)

0 komentar:

Posting Komentar

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More