Selasa, 15 November 2011

Thaharoh

THAHARAH
Oleh : Zainur Rahman
 
BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang Masalah
Dalam Islam, beribadah kepada Tuhan bukanlah hal sepele, tapi hal yang sangat penting yang harus diperhatikan dan dijaga. Jalan menuju peribadatan tidaklah sesepele ketika kita mau membalikkan tangan, yang tak peduli tangan kita dalam keadaan baik atau tidak. Dalam beribadah, ada tata cara dan syarat yang harus dipenuhi oleh sang pelaku ibadah.
Thaharah merupakan miftah (alat pembuka) pintu untuk memasuki ibadah shalat. Tanpa thaharah pintu tersebut tidak akan terbuka . artinya tanpa thaharah, ibadah shalat, baik yang fardhu maupun yang sunnah, tidak sah.
Karena fungsinya sebagai alat pembuka pintu shalat, maka setiap muslim yang akan  melakukan shalat tidak saja harus mengerti thaharah melainkan juga harus mengetahui dan terampil melaksanakannya sehingga thaharahnya itu sendiri terhitung sah menurut ajaran ibadah syar’iah.Apabila kita membicarakan soal thaharah  (bersuci) kadangkala sebagian orang beranggapan bahwa persoalan itu adalah persoalan kecil (biasa) katanya bagi orang-orang dewasa tidaklah perlu diterangkan, cukup untuk anak-anak remaja saja yang baru belajar agama yang harus mengetahuinya, tapi dalam prakteknya tak urung pada orang dewasa itu sendiri masih banyak dijumpai hal-hal yang kadangkala bertentangan dengan cara bersuci yang dikehendaki syari seperti’at islam.
Maka dengan latar belakang itulah penulis tertarik untuk mengangkat dan membahas sebuah tema “Thaharah” dengan tujuan dapat bermanfaat bagi semua kalangan. Baik yang sudah paham maupun yang belum memahaminya. Dan bermanfaat pula bagi penulis dan pembaca.
B.     Rumusan Masalah
  1. Apa najis dan istinja itu?
  2. Dibagi berapakah najis dan bagaimana cara mensucikannya?
  3. Bagaimanakah adab buang air?
  4. Apa saja Alat yang dapat digunakan untuk istinja?
  5. Bagaimana tata cara beristinja?
  6. Apa saja Hal-Hal Yang di Sunatkan Dalam Istinja?
  7. Apa saja Hal-Hal Yang Dimakruhkan dan Dilarang Dalam Menunaikan Hajat dan Istinja?
  8. Bagaiman relasi Thaharah dengan Kebersihan, Kesehatan dan Keindahan Lingkungan?
  9. Apa saja Masalah-masalah Kontemporer itu?

BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Najis dan Istinja
  1. Najis 
Definisi najis secara lughot (etimologi) adalah setiap sesuatu yang menjijikan,sedangkan secara syara’(terminologi) adalah setiap sesuatu yang menjijikan yang bisa mencegah sahnya shalat ketika tidak ada ruhshoh(dispensasi)[1].
Dalam Al-Qur'an perkataan najis disebut juga dengan "rijsun" seperti tercantum dalam surat Al-Maidah ayat 90 :
"Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan".
Benda yang kelihatan kotor belum tentu najis, begitu juga sebaliknya. Misalnya, pakaian yang terkena tanah atau debu akan menjadi kotor tetapi tidak najis sehingga sah jika digunakan dalam sholat, tetapi sebaiknya harus dibersihkan terlebih dahulu. Dalam keadaan lain pakaian yang terkena kencing walaupun tidak berbekas lagi hukumnya adalah terkena najis dan tidak sah bila digunakan untuk sholat.
2.      Istinja
Secara etimologi istinja berasal dari kata النجو  yang artinya benda yang keluar dari perut. Kata إستنجى berarti membasuh dengan air atau menyapu dengan dengan batu. Secara terminologi berarti adalah menghilangkan najis yang keluar dari dubur ataupun qubul baik dengan membasuh maupun dengan menyeka. Secara khusus membersihkan najis dengan batu atau benda-benda lainnya disebut dengan istijmar[2].
Hukum istinja dan istijmar adalah wajib, demikian menurut pendapat jumhur ulama. Kewajibanitu terjadi bilamana najis keluar melewati tempatnya (qubul dan dubur)[3].
Sebagaimana diterangkan dalam al-Qur’an dan Hadits
والرجز فاهجر
Artinya:  dan perbuatan dosa tinggalkanlah


“Dari aisyah r.a. bahwa nabi SAW bersabda: apabila salah seorang kamu pergi buang air besar, maka hendaklah dibaguskan (dihilangkan) dengan 3 batu. Sesungguhnya hal itu telah memadai”,. (HR. Abu Daud)
berdasarkan ayat dan hadits diatas kewajiban istinja hanya ketika terjadi buang air kecil atau air besar. Namun demikian sunnat muakkad hukumnya bagi seseorang ketika hendak melaksanakan shalat meskipun tiadak menunaikan hajat.
Membasuh atau menyapu kedua tempat keluarnya najis itu tidak ada ketentuan jumlahnya; yang menjadi tujuan yaitu tercapainya kebersihan.

B.     Pembagian Najis dan Cara Mensucikan Najis
1.      Najis Mukhoffafah (ringan)
Yang termasuk dalam najis ringan adalah air kencing anak laki-laki yang belum berumur dua tahun dan belum makan atau minum sesuatu selain ASI.
Cara menghilangkan najis ringan adalah dengan memercikkan air pada benda yang terkena najis tersebut, sebagaimana sabda Rasul:
"Dibasuh dari kencing anak perempuan dan dipercikkan air dari air kencing anak laki-laki." (HR. Abu Daud dan An-Nasai).
2.      Najis Mutawassithoh (sedang)
Yang termasuk kelompok najis ini adalah [4]:
a.       Bangkai
Yang dimaksud bangkai adalah binatang yang mati karena tidak disembelih atau disembelih tidak menurut aturan syariat Islam, termasuk bagian tubuh dari hewan yang dipotong ketika masih hidup.
"Diharamkan atas kamu bangkai". (QS. Al-Maidah : 3).
"Segala sesuatu (anggota tubuh) yang dipotong dari binatang yang masih hidup termasuk bangkai". (HR. Abu Daud dan Turmudzi dari Abi Waqid Al-Laitsi).
Bangkai yang tidak termasuk najis adalah ikan dan belalang, keduanya halal untuk dimakan. Berdasarkan pada sabda Nabi SAW:
“Dihalalkan bagi kami dua jenis bangkai dan dua jenis darah, yaitu (1) ikan, (2) belalang, (3) hati, dan (4) limpah”. (H.R. Ibnu Majah).
b.      Darah
Semua macam darah termasuk najis, kecuali darah yang sedikit seperti darah nyamuk yang menempel pada badan atau pakaian maka hal itu dapat dimaafkan.
"Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi." (QS. Al-Maidah : 3).
c.       Nanah
Nanah pada hakikatnya adalah darah yang tidak sehat dan sudah membusuk. Baik nanah ini kental ataupun cair hukumnya adalah najis.
d.      Muntah
Muntahan disepakati sebagai bagian dari najis karena kotor, makanan yang telah muntah itu telah masuk dalam perut, maka dihukumi najis[5].
e.       Sesuatu yang keluar dari dua jalan (qubul atau dubur) [6]
Seperti tinja, air seni, wadi dan madzi, kecuali air mani. Walaupun air mani tidak najis tetapi hendaknya dibersihkan. Mengenai najisnya air kencing, wadi dan madzi dijelaskan Nabi SAW.
Ketika seorang Badwi kencing dalam masjid, Nabi bersabda : “Bersihkanlah air kencing itu dengan seember air”. (H.R. Baihaqi dan Muslim).
dari Ali kw. Berkata: Aku seorang pria yang sering keluar madzi, aku malu untuk menanyakan hal itu kepada Rasulullah SAW, karena sebagai menantunya maka aku perintahkan seseorang untuk bertanya kepada beliau. Nabi menjawab : “Hendaklah ia mencuci kemaluannya dan berwudhu”. (H.R. Muslim).
Madzi adalah sedikit cairan yang agak kental yang keluar dari kemaluan, disebabkan oleh adanya sedikit rangsangan, keluarnya cairan ini biasanya tidak terasa. Sedangkan wadi adalah sedikit cairan yang agak kental, yang keluar dari kemaluan, biasanya mengiringi air kencing atau karena terlalu lelah, sehabis bekerja
Air mani hukumnya suci, berdasarkan pada keterangan,
bahwa Nabi SAW ditanya mengenai air mani yang menempel pada pakaian, beliau menjawab : “Air mani itu seperti ingus dan dahak, maka cukuplah bagimu membersihkannya dengan secarik kain atau sehelai daun”. (H.R. Baihaqi, Daru Quthni dan Thahawi).
Meskipun suci, air mani disunnahkan untuk dicuci apabila basah dan dibersihkan atau dikerok bila kering. Berkata Aisyah ra : “Ku kerok mani itu dari kain Rasulullah SAW bila ia kering dan kucuci bila ia basah”. (H.R. Daruquthni, Abu Uwanah dan al-Bazzar).

f.       Arak (khamar)
Semua benda yang memabukkan termasuk benda najis, berdasarkan firman Allah :
"Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji termasuk perbuatan setan." (QS. Al-Maidah : 90).
g.      air susu hewan yang haram dimakan
Air susu hewan yang tidak halal dimakan tergolong najis, sebagaimana dijelaskan dalam Kitab Fathul Mu’in : “Yang tergolong najis adalah empedu dan air susu hewan yang tidak dimakan, kecuali manusia”.[7]
Najis mutawashithoh terbagi dua, yaitu :
(1)   Najis 'Ainiyah,
Yaitu najis mutawashitoh yang masih kelihatan wujudnya, warnanya dan baunya. Cara membersihkannya dengan menghilangkan najis tersebut dan membasuhnya dengan air sampai hilang warna, bau dan rasanya.
(2)   Najis Hukmiyah,
Yaitu najis yang diyakini adanya tetapi sudah tidak kelihatan wujudnya, warnanya dan baunya. Contohnya adalah air kencing yang sudah mengering. Cara membersihkannya cukup dengan menggenangi/menyirami air mutlaq pada tempat yang terkena najis hukmiyah tersebut.
3.      Najis Mughallazhoh (berat)
Yang termasuk najis ini adalah air liur dan kotoran anjing dan babi. Cara mensucikannya adalah membasuh benda yang kena najis itu sampai hilang materi najisnya, warna, bau dan rasanya, dibasuh sampai tujuh kali, salah satunya dicampur dengan tanah atau debu yang suci. Rasulullah SAW bersabda :
"Sucinya tempat dan peralatan salah seorang kamu, apabila dijilat anjing hendaklah dicuci tujuh kali, salah satunya dengan debu (tanah)." (HR. Muslim dari Abu Hurairah)
C.    Adab Buang Air
Bagi setiap orang yang akan buang air besar atau air kecil diarahkan agar memperhatikan adab-adabnya, sebagai berikut :
  1. Tidak membawa sesuatu yang memuat nama Allah, kecuali bila dikhawatirkan akan hilang. Anas ra meriwayatkan : “Sesungguhnya Nabi SAW memakai cicin yang berukiran Muhammad Rasulullah dan bila beliau masuk WC maka cincin itu ditanggalkannya” (H.R. Arba’ah).
  2. Menjauhkan diri dari orang lain agar tidak mengganggu mereka, baik karena bau atau suaranya. Jabir ra meriwayatkan : “Kami bepergian bersama Rasulullah SAW pada suatu perjalanan. Beliau tidak membuang air kecuali bila telah lepas dari penglihatan manusia”. (H.R. Ibnu Majah). Menurut riwayat Abu Dawud : “Beliau bermaksud hendak buang air beliau pergi jauh hingga tidak terlihat orang lain”.
  3. membaca basmalah dan isti’adzah secara jahar (jelas), waktu hendak masuk WC. Anas ra meriwayatkan : “Apabila Nabi SAW hendak masuk WC, beliau membca bismillahi allahumma inni audzubika minal khubutsi wal khabaitsi (dengan nama Allah, aku berlindung kepada-Mu dari godaan syaitan laki-laki dan syaitan perempuan)”. (H.R. Jama’ah).
  4. Tidak berbicara pada waktu buang air, kecuali sangat penting sekali[8]. Ibnu Umar ra meriwayatkan : “Sesungguhnya seorang pria lewat pada Nabi SAW, beliau sedang buang air kecil. Orang itu mengucapkan salam. Nabi SAW tidak menjawab salam orang tersebut”. (H.R. Jama’ah kecuali bukhari)
  5. tidak menghadap atau membelakangi kiblat, kecuali berada dalam ruangan atau ada tabir yang menghalanginya. Bersabda Rasulullah SAW : “Apabila salah seorang diantaramu duduk untuk buang air, janganlah ia menghadap kiblat atau membelakanginya”. (H.R. Ahmad & Muslim).
  6. buang air pada tempatnya, atau mencari tempat yang wajar, sehingga anggota badan atau pakaian tidak terkena najis. Bersabda Nabi SAW : “Apabila salah seorang diantaramu buang air kecil, hendaklah ia memilih tempat yang sesuai”. (H.R. Ahmad & Abu Dawud).
  7. Tidak buang air dalam lubang, karena dimungkinkan akan menyakiti hewan atau makhluk lain yang ada di dalamnya. Abdullah bin Sarjid meriwayatkan : “Nabi SAW melarang buang air kecil dalam lubang”. Mereka bertanya pada Qutadah : “Mengapa dilarang kencing di dalam lubang?”. Ia menjawab : “Karena lubang adalah tempat tinggal jin”. (H.R. Ahmad, Nasai, Abu Dawud, Hakim dan Baihaqi).
  8. Agar menghindari tempat orang bernaung, berkumpul, beristirahat atau jalan umum. Abu Hurairah meriwayatkan, Nabi SAW bersabda : “Takutlah kamu pada kutukan orang banyak”. Mereka bertanya : “Siapakah mereka itu?”. Nabi SAW menjawab : “Dia yang buang air di jalan atau tempat bernaung atau tempat beristirahat mereka” (H.R. Ahmad, Muslim dan Abu Daud).
  9.  Tidak buang air di tempat mandi, pada air tergenang ataupun air yang mengalir. Abdullah Mughaffal meriwayatkan : “Sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda : “Janganlah salah seorang diantaramu buang air kecil ditempat mandinya, kemudian ia berwudhu di sana karena pada umumnya waswas (keraguan) itu berasal dari sana”. (H.R. Khamsa)
  10. Karena dianggap tidak sopan agar tidak kecing sambil berdiri, hal itu juga mengakibatkan air seni menyebar kemana-mana, kecuali kalau tempatnya tidak memungkinkan, atau kesulitan melakukannya. Misalnya bagi orang yang memakai celena panjang, sukar melakukan kencing sambil duduk (mendek), sedangkan tempat buang air kecil disediakan sambil berdiri (urinoir), maka kecing sambil berdiri tidak menjadi masalah. Sayyidah Aisyah ra berkata : “Siapa yang menceritakan bahwa Rasullah SAW kencing sambil berdiri, jangan dipercaya. Beliau tidak pernah kencing kecuali sambil duduk”. (H.R. Khamsah).
  11. Wajib bersuci dengan menghilangkan najis dari kemaluan (qubul) atau dubur (anus) dengan air, atau dengan batu, kayu atau tissue atau yang serupa dengannya. Atau dengan keduanya; yaitu dengan batu, kayu atau tissue kemudian dengan air. Aisyah ra meriwayatkan bahwa Nabi SAW bersabda : “Apabila ada salah seorang diantaramu buang air, maka bersucilah (istinja’) dengan tiga buah batu, karena dengan demikian itu cukuplah baginya”. (H.R. Ahmad, Nasai, Abu Daud dan Daruquthni).
  12. Bersuci atau beristinja’ dengan tangan kiri, sebagaimana diriwayatkan : “Dikatakan orang pada Salman : “Nabimu telah mengajarimu segala sesuatu sampai soal kotoran”. Salman Menjawab : “Benar, Rasulullah SAW melarang kami menghadap kiblat, ketika membuang air besar dan air kecil, atau bersuci dengan tangan kanan, atau bersuci dengan benda najis atau bersuci dengan tulang”. (H.R. Muslim, Abu Daud dan Timidzi).
  13. Masuk ke dalam WC dengan kaki kiri dan keluar dengan kaki kanan, sambil membaca do’a : “Ghufranaka” artinya “aku memohon ampunan-Mu”. Dari Aisyah ra : “Sesungguhnya Nabi SAW apabila keluar dari WC mengucapkan kalimat “ghufranaka”. (H.R. Khamsah kecuali al-Nasai)[9].
D.    Alat-alat yang digunakan Istinja
1.      Air mutlak (air yang suci lagi menyucikan).
2.      Batu atau benda-benda yang keras  lagi kesat yang suci seperti kertas, daun-daun kering, rumput dan sebagainya.
Syarat-syarat Benda selain batu yang bisa digunakan untuk istijmar antara lain:
1.      Benda itu bisa membersihkan najis
2.      Benda itu tidak kasar seperti batu bata dan tidak licin seperti batu akik.
3.      Benda itu bukan sesuatu yang bernilai seperti emas dan perak
4.      Benda itu bukan sesuatu yang bias mengotori seperti arang, debu, pasir dan lain sebagainya
5.      Benda itu tidak menyebabkan mudlarat (melukai) seperti kaca,kawat, paku
6.      Jumhur ulama mensyaratkan harus benda yang padat bukan benda cair. Namun ulama al-hanafiyah memperbolehkan dengan benda cair seperti air mawar
7.      Benda itu harus suci
8.      Tidak boleh menggunakan tulang, makanan atau roti karena merupakan penghinaan
Syarat-syarat beristinja’ dengan batu atau benda-benda kesat
a.       Sekurang-kurangnya 3 kali sapu dengan 3 biji batu atau sebiji batu yang mempunyai 3 penjuru.
b.      Najis itu belum kering pada tempatnya.
c.       Najis itu tidak meleleh atau berlumuran dari tempat keluarnya.
d.      Tidak terkena najis lain di atasnya[10].
Maka oleh karenanya, apabila satu syarat saja tidak terpenuhi, maka wajib (beristinja menggunakan air.
E.     Tata cara (adab) Istinja
1.        Membasuh atau membersihkan tempat keluar kotoran dengan air sampai bersih. Ukuran bersih ini ditentukan oleh keyakinan masing-masing.
2.      Membasuh atau membersihkan tempat keluar dengan batu, kemudian dibasuh dan dibersihkan dengan air.
3.       Membersihkan tempat keluar kotoran dengan batu atau benda-benda kesat lainnya sampai bersih. Membersihkan tempat keluar kotoran sekurang-kurangnya dengan tiga buah batu atau sebuah batu yang memiliki tiga permukaan sampai bersih.
Rasulullah SAW bersabda :
"Sesungguhnya Nabi SAW melalui dua buah kuburan, kemudian beliau bersabda : Sesungguhnya kedua orang yang berada dalam kubur itu sedang disiksa. Adapun salah seorang dari keduanya sedang disiksa karena mengadu domba orang, sedangkan yang satunya sedang disiksa karena tidak menyucikan kencingnya." (HR. Bukhori dan Muslim).
F.     Hal-Hal Yang di Sunatkan Dalam Istinja
  1. Beristinjak dengan batu atau daun-daunan yang tidak terhormat
  2. Tiga kali, bagi golongan hanafiyah dan malikiyah
  3. Tidak beristinja dengan tangan kanan kecuali ada udzur
  4. Istinja di tempat tertutup
  5. Orang yang beristinja dengan air hendaklah menggosokkan tangannya ke tanah atau menggunakan sabun
  6. Menyeka tempat duduk sebelum berdiri
  7.  Mendahulukan istinja pada qubul dari pada dubur[11]
G.    Hal-Hal Yang Dimakruhkan dan Dilarang Dalam Menunaikan Hajat dan Istinja
  1. Menghadap kiblat atau membelakanginya
  2.  Istinja di ditempat-tempat terhormat (masjid dan mushalla) dan jalan-jalan yang dilalui manusia
  3. Buang hajat dalam keadaan berdiri
  4. Menunaikan hajat dan Istinja di tempat mandi atau wudhu[12]
H.    Hubungan Thaharah dengan Kebersihan, Kesehatan dan Keindahan Lingkungan
Kata bersih sering di ungkapkan untuk menyatakan keadaan lahiriyah suatu benda, seperti air bersih, lingkungan bersih dan sebagainya. Terkadang bersih member pengertian suci, seperti air suci. Tetapi biasanya kata bersih digunakan untuk ungkapan sifat lahiriyah. Sedangkan kata suci untuk ungkapan sifat batiniyah, seperti jiwa suci. Dalam hokum islam setidaknya ada tiga ungkapan yang menyatakan “kebersihan”, yaitu:
1.      Nazhafah atau nazhif, yaitu meliputi bersih dari kotoran dan nodasecara lahiriya, dengan alat pembersihnya benda yang bersih seperti air.
2.      Thaharah, yaitu mengandung pengertian yang lebih luas meliputi kebersihan lahiriyah dan batiniyah
3.      Tazkiyah, mengandung arti ganda yaitu membersihkan diri dari sifat atau perbuatan tercela dan menumbuhkan atau memperbaiki jiwa  dengan sifat-sifat terpuji.
Thaharah dilakukan dengan mengikuti ketentuan syara’ yang secara otomatis membawa kepada kebersihan lahir dan batin. Orang yang bersih secara  syara’ akan hidup dalam kondisi sehat.
Dalam thaharah di syariatkan beristinja, berkumur-kumur, siwak dan lain sebagainya.semua ini mewujudkan kebersihan lahiriyah sekaligus mengatisipasi datangnya penyakit. Kemudian dalam melaksanakan shalat disyariatka melakukan wudhu. Wudhu disamping membersihkan lahiriyah juga membersihkan batiniyah.
Thaharah juga mempunyai implikasi terhadap keindahan lingkungan. Ada tiga lingkungan yang mempengaruhi kehidupan manusia, yaitu lingkungan pisik (alam yang ada di sekitar kita), lingkungan manusia, dan lingkungan keluarga. Sebagai contoh, kita di larang buang air besar di jalan raya, di bawah pohon tempat berteduh, di lubang binatang dan lain sebagainya. Hal ini bertujuan untuk menyelamatkan lingkungan[13].
I.       Masalah-masalah Kontemporer

  1. Istinjak menggunakan tissue[14]
Perkembangan dalam ilmu pengetahuan dan teknologi membawa perubahan besar yang besar dalam pola piker dan pola sikap masyarakat. Gaya hidup mereka mengalami pergeseran-pergeseran sedemikian rupa sehingga cenderung memilih sikap hal yang praktis dan mudah serta efisien , misalnya dalam istinja’.
Pada tempat-tempat
Orang yang kesadaran agama tinggi menghadapi kenyataan tersebut wajar apakah tissue memang mencukupi untuk istinja’?
Seperti saya terangkan, istinja’ dapat dilakukan dengan air dan batu, baik hakiki maupun syar’i. Tapi tissue bukan air, bukan pula batu hakiki. Pertanyaannya, apakah dapat digunakan untuk istinja’?
Jawabannya, meski dicari pada pertanyaan: apakah tissue termasuk hajar syar’i? Merajuk pada literatur fikih madzhab imam Syafi’i, seperti Al-Majmu Syarah Al-Muhadzdzab, Syarqawi Syarah TuhfahAth Thullab, Bujairami Syarah Iqna’ dan lain-lain, tissue dapat digunakan istinja’ dengan alasan sebagai berikut:
Pengertian hajar syar’i meliputi semua benda padat yang suci, bisa menghilangkan najis serta tidak muhtaram. Namun jika nanti tissue sering digunakan.
Akan kita jumpai pada kenyataan, tissue terbuat dari kertas yang kasar dan tidak halus (qali’un atau bisa menghilangkan najis). Dengan demikian, dia termasuk benda padat (jamid), tidak najis serta tidak muhtaram.
Dalam kitab-kitab tersebut, disebutkan tidak boleh menggunakan kitab maupun buku keagamaan untuk istinja’ .
Alasannya bukan karena buku tersebut bukan terbuat dari kertas melainkan lebih dilandasi dari kemuliaannya,yaitu nilai tulisan yang menempel pada kertas tersebut.
Secara logis, kalau tidak ada tulisan yang menempel pada kertas itu boleh-boleh saja dipakai untuk istinja’. Dalam kitab Bughyah Al-Murtasyidin juga disinggung penggunaan auraq al-bayadh (kertas putih) yang berisi ilmu-ilmu sendiri.
Suatu hal yang perlu dicamkan, kalau istinja’ memakai batu hakiki atau syar’i, disyaratkan tiga (3) kali usapan, dan dapat menghilangkan atau membersihkan kotoran yang ada. Tidak boleh kurang. Kalau sudah diusap tiga kali dengan batu yang berbeda ternyata belum bersih, maka harus ditambah hingga benar-benar bersih.
  1. Realitas zaman yang serba instant dan modern membawa gejolak yang tidak mudah daam mencari solusinya. Sabun cuci yang sarat akan aroma sangat sulit sekali dihilanngkan, meskipun pembilasan baju telah dilakukan berulangkali, namun masih tetap saja melekat pada pakaian. Contoh, ketika pakaian di rendam dalam ember berisi air yang kurang dari dua qullah, kemudian terkena najis. Fenomena ini menimbulkan keraguan akan kesucian pakaian. Apakah bau najis sudah benar-benar hilang tertutup oleh bau sabun. Sudah dihukumi sucikah pakaian tersebut?
Menyikapi abstraksi diatas Busyr al-Karim mengajukan transparansi fenomena ini dengan mengetengahkan kontroversi antara beberapa ulama. Al-Thablawi menyikapi bahwa pakaian itu isa dihukumi suci, dengan catatan najisnya sudah hilang  meskipun masih berbau. Sedangka ar-Ramli mengatakan, pakaian itu belumlah dianggap suci, dalam artian bisa dihukumi suci ketika pakaian tersebut telah hilang bau sabunnya karena masih ada kemungkinan najisnya belumlah hilang namun hanya “tertutupi” saja[15].
  1. Sesuatu yang kena najis Mughallazdoh disucikan dengan air serta sabun atau sesamanya, sudahkah mencukupinya?
Dalam hal ini ulama berbeda pendapat, menurut qaul azhhar belum mencukupi; menurut qaul kedua sudah mencukupinya (sudah suci). Sedangkan menurut qaul ketiga bisa mencukupi, apabila tidak ada debu. Dan menurut qaul keempat dapat mencukupi, jika di cuci dengan debu menyebabkan  lekas rusaknya sesuatu yang kena najis tersebut[16].


BAB III
PENUTUP
Simpulan
  1. najis adalah setiap sesuatu ynag menjijikan yang bisa mencegah sahnya shalat ketika tidak ada ruhshoh(dispensasi)
  2. Istinja adalah menghilangkan najis yang keluar dari dubur ataupun qubul
  3. Najis terbagi  menjadi 3 bagian; mukhaffafah, najis mutawasshito, dan najis mughalladzoh.
  4. Adab buang air yaitu selalu mendahulukan kaki kiri ketika mau masuk WC, dan menggunakan kaki kanan.
5.      Alat yang dapat digunakan untuk istinja yaitu air dan batu dan benda-benda keras yang lain.
6.      tata cara beristinja yaitu membersihkan kotoran (najis)
8.      Hal-Hal Yang di Sunatkan Dalam Istinja diantarany; Beristinjak dengan batu atau daun-daunan yang tidak terhormat, Tidak beristinja dengan tangan kanan kecuali ada udzur, Istinja di tempat tertutup, Orang yang beristinja dengan air hendaklah menggosokkan tangannya ke tanah atau menggunakan sabun, Menyeka tempat duduk sebelum berdiri. Mendahulukan istinja pada qubul dari pada dubur dan lain sebagainya
5.      Hal-Hal Yang Dimakruhkan dan Dilarang Dalam Menunaikan Hajat dan IstinjaMenghadap kiblat atau membelakanginya yaitu; Istinja di ditempat-tempat terhormat (masjid dan mushalla) dan jalan-jalan yang dilalui manusia, Buang hajat dalam keadaan berdiri dan Menunaikan hajat dan Istinja di tempat mandi atau wudhu
7.      Bagaiman relasi Thaharah dengan Kebersihan, Kesehatan dan Keindahan Lingkungan?
8.      Masalah-masalah Kontemporer; beristinja menggunakan tissue, bersuci dari najis mugholladhah menggunakan sabun dan lain sebagainya.


[1] http://fiqihmoderen.blogspot.com/
[2] Rahman Ritonga dan Zainuddin. Fiqh ibadah. Jakarta: Gaya Media Pratama. 1997
[3] ibid
[4] http://tarbiyatulmujahidin.comze.com/html/1%20FIQIH%20IBADAH%20Bab%20I%20Thoharoh.htm
[5] http://darmi-ar.blogspot.com/2008/05/kitab-thaharah.html
[6] Sayyid sabiq. Fiqh  al-Sunnah. Beirut. Dar al-Fikr, cet. IV. 1983
[7] Zain al-Din bin abdul Aziz. Fath al-Mu’in. al-haromain h. 11
[8] Muhammad bin Qasim Al-Ghazy. Fathul qorib
[9] http://darmi-ar.blogspot.com/2008/05/kitab-thaharah.html
[10] Muhammad bin Qasim Al-Ghazy. Fathul qorib. Terj. Achmad Sunarto. Surabaya: al-Hidayah. 1991.
[11] Zuhyli, wahbah, al-fiqh al-islamy wa adillatuh,dar al-fikr
[12] Musa, kamil. Ahkam al-ibadat: shalat, zakat, shaum, hajj, dar al-fikr,1991 M./1411 H
[13] Rahman Ritonga dan Zainuddin. Fiqh ibadah
[14] http://elsyaf.blogspot.com/2009/06/istinja-dengan-tissue.html
[15] Team. Responsifitas hukum islam; telaah fiqh kontekstual. 4-5. Kediri: FBM HP CIPs
[16] Maftuh bin basth al-Bir. Masalah agama: hasil musyawarah ulama-ulama Indonesia di saudi arabia. terj. Basyari anwar. 19. Tt. Kediri: Lirboyo

0 komentar:

Posting Komentar

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More