Rabu, 18 Mei 2011

Optimalisasi Distribusi Zakat


Optimalisasi Distribusi Zakat
Oleh : Zainur Rahman

A.    Model Distribusi Zakat
Islam adalah ajaran yang komprehensif yang mengakui hak individu dan hak kolektif masyarakat secara bersamaan. Sistem Ekonomi Syariah mengakui adanya perbedaan pendapatan (penghasilan) dan kekayaan pada setiap orang dengan syarat bahwa perbedaan tersebut diakibatkan karena setiap orang mempunyai perbedaan keterampilan, inisiatif, usaha, dan resiko.
Namun perbedaan itu tidak boleh menimbulkan kesenjangan yang terlalu dalam antara yang kaya dengan yang miskin sebab kesenjangan yang terlalu dalam tersebut tidak sesuai dengan syariah Islam yang menekankan sumber−sumber daya bukan saja karunia Allah, melainkan juga merupakan suatu amanah. Oleh karena itu, tidak ada alasan untuk mengkonsentrasikan sumber−sumber daya di tangan segelintir orang.
Kurangnya program yang efektif untuk mereduksi kesenjangan sosial yang terjadi selama ini, jika tidak diantisipasi, maka akan mengakibatkan kehancuran umat yang lebih parah. Syariah Islam sangat menekankan adanya suatu distribusi kekayaan dan pendapatan yang merata sebagaimana yang tercantum dalam Al Quran Surah Al Hasyr ayat 7.
Salah satu cara yang dituntut oleh Syariah Islam atas kewajiban kolektif perekonomian umat Islam adalah "lembaga zakat". Secara teknik, zakat adalah kewajiban financial seorang muslim untuk membayar sebagian kekayaan bersihnya atau hasil usahanya apabila kekayaan yang dimilikinya telah melebihi nishab (kadar tertentu yang telah ditetapkan).
Zakat merupakan refleksi tekad untuk mensucikan masyarakat dari penyakit kemiskinan, harta benda orang kaya, dan pelanggaran terhadap ajaran−ajaran Islam yang terjadi karena tidak terpenuhinya kebutuhan pokok bagi setiap orang tanpa membedakan suku, ras, dan kelompok. Zakat merupakan komitmen seorang Muslim dalam bidang sosio−ekonomi yang tidak terhindarkan untuk memenuhi kebutuhan pokok bagi semua orang, tanpa harus meletakkan beban pada kas negara semata, seperti yang dilakukan oleh sistem sosialisme dan negara kesejahteraan modern
Dalam kenyataan yang terjadi saat ini di Indonesia, zakat yang diterima oleh Badan atau Lembaga Amil Zakat tidak signifikan dengan jumlah penduduk muslim yang ada. Kecilnya penerimaan zakat oleh Amil Zakat bukan hanya disebabkan oleh rendahnya pengetahuan agama masyarakat, tetapi juga disebabkan oleh rendahnya kepercayaan masyarakat terhadap lembaga tersebut.
Hal itu mengakibatkan masyarakat condong menyalurkan zakat secara langsung kepada orang, yang menurut mereka, berhak menerimanya. Sehingga tujuan dari zakat sebagai dana pengembangan ekonomi tidak terwujud, tetapi tidak lebih hanya sebagai dana sumbangan konsumtif yang sifatnya sangat temporer.
Seperti halnya contoh, hampir setiap menjelang Idul Fitri kita mendengar, membaca, dan melihat pemandangan yang menyedihkan. Ribuan orang berdesak-desakan sampai beberapa orang pingsan untuk berebut zakat mal dari seorang pengusaha dan atau pejabat publik. Tentu kita tidak menginginkan peristiwa itu terulang. Warga miskin mempertaruhkan jiwanya untuk mendapatkan sedikit uang (antara 10 ribu sampai 25 ribu rupiah).
Ada beberapa ketentuan dalam mendistribusikan dana zakat kepada mustahiq:[1]
1.      Mengutamakan distribusi domestik, dengan melakukan distribusi lokal atau lebih mengutamakan penerima zakat yang berada dalam lingkungan terdekat dengan lembaga zakat (wilayah muzakki) dibandingkan pendistribusiannya untuk wilayah lain.
2.      Pendistribusian yang merata dengan kaidah-kaidah sebagai berikut:
a.       Bila zakat yang dihasilkan banyak, seyogyanya setiap golongan mendapat bagiannya sesuai dengan kebutuhan masing-masing.
b.      Pendistribusiannya haruslah menyeluruh kepada delapan golongan yang telah ditetapkan.
c.       Diperbolehkan untuk memberikan semua bagian zakat kepada beberapa golongan penerima zakat saja, apabila didapati bahwa kebutuhan yang ada pada golongan tersebut memerlukan penanganan secara khusus.
d.      Menjadikan golongan fakir miskin sebagai golongan pertama yang menerima zakat, karena memenuhi kebutuhan mereka dan membuatnya tidak bergantung kepada golongan lain adalah maksud dan tujuan diwajibkannya zakat.
e.       Seyogyanya mengambil pendapat Imam Syafi’i sebagai kebijakan umum dalam menentukan bagian maksimal untuk diberikan kepada petugas zakat, baik yang bertugas dalam mengumpulkan maupun yang mendistribusikannya.
3.      Membangun kepercayaan antara pemberi dan penerima zakat. Zakat baru bisa diberikan setelah adanya keyakinan dan juga kepercayaan bahwa si penerima adalah orang yang berhak dengan cara mengetahui atau menanyakan hal tersebut kepada orang-orang adil yang tinggal di lingkungannya, ataupun yang mengetahui keadaannya yang sebenarnya.
Intermediary sistem yang mengelola investasi dan zakat seperti perbankan Islam dan lembaga pengelola zakat dewasa ini lahir secara masif. Di Indonesia sendiri, dunia perbankan Islam dan lembaga pengumpul zakat menunjukan perkembangan yang cukup pesat. Mereka berusaha untuk berkomitmen mempertemukan pihak surplus muslim dan pihak defisit muslim. Dengan harapan terjadi proyeksi pemerataan pendapatan antara surplus dan defisit muslim atau bahkan menjadikan kelompok defisit (mustahiq) menjadi surplus (muzakki)48.
Dalam kaitan hal tersebut, Agar dana zakat yang disalurkan itu dapat berdaya guna dan berhasil guna, maka pemanfaatannya harus selektif untuk kebutuhan konsumtif atau produktif. Mekanisme distribusi zakat kepada mustahiq bersifat konsumtif dan juga produktif. Menurut Mufraini distribusi zakat tidak hanya dengan dua cara akan tetapi ada tiga yaitu: distribusi konsumtif, distribusi produktif, dan investasi[2]. berikut akan pemakalah jelaskan mengenai pola pendistribusian tersebut:
B.     Distribusi Konsumtif, Produktif dan Investasi Dana Zakat
1.                  1.   Distribusi Konsumtif Dana Zakat
Dalam distribusi konsumtif disini dapat diklarifikasi menjadi dua, yaitu: [3]
a.       Tradisional
Zakat dibagikan kepada mustahiq dengan secara langsung untuk kebutuhan konsumsi sehari-hari. Misalnya pembagian zakat fitrah berupa beras dan uang kepada fakir miskin setiap idul fitri. Pola ini merupakan program jangka pendek dalam mengatasi permasalahan umat.
b.      Kreatif
Zakat yang diwujudkan dalam bentuk barang konsumtif dan digunakan untuk membantu orang miskin dalam mengatasi permasalahan sosial dan ekonomi yang dihadapi. Proses pengkonsumsian dalam bentuk lain dari barangnya semula[4]. Misalnya diberikan dalam bentuk bea siswa untuk pelajar.
Pola pendistribusian dana zakat secara konsumtif diarahkan kepada:
a.       Upaya pemenuhan kebutuhan konsumsi dasar dari para mustahiq.
Sama halnya dengan pola distribusi konsumtif tradisional yang realisasinya tidak jauh pada pemenuhan sembako bagi kelompok delapan asnaf. Yang menjadi persoalan kemudian adalah seberapa besar volume zakat, apakah untuk kebutuhan konsumtif sepanjang tahun, atau hanya untuk memenuhi kebutuhan makan satu hari satu malam.
Pendistribusian yang seperti ini sangat tidak mendidik jika diberikan sepanjang tahun dan tidak berarti apa-apa jika untuk satu hari satu malam saja.
b.      Upaya pemenuhan kebutuhan yang berkaitan dengan tingkat kesejahteraan sosial dan psikologis.
Diarahkan kepada pendistribusian konsumtif non makanan, walaupun untuk keperluan konsumsi mustahiq. Misalnya untuk peningkatan kesejahteraan social yaitu pengupayaan renovasi tempat-tempat pemukiman. Sedangkan untuk kesejahteraan psikologis adalah dengan Lembaga Zakat menyalurkan dalam bentuk bantuan pembiayaan. Misal nikah masal, sunat masal bagi anak-anak mustahiq.
c.       Upaya pemenuhan kebutuhan yang berkaitan dengan peningkatan SDM agar dapat bersaing hidup di alam transisi ekonomi dan demokrasi Indonesia.
Peningkatan kualitas pendidikan mustahiq. Baik berupa beasiswa sekolah, pelatihan-pelatihan dan peningkatan keterampilan non formal. Yang dapat dimanfaatkan untuk kelanjutan menjalani kehidupan dan menggapai kesejahteraannya.


2.                    2.   Distribusi Produktif Dana Zakat
Pola distribusi dana zakat produktif menjadi menarik untuk dibahas mengingat statement syariah menegaskan bahwa dana zakat yang terkumpul sepenuhnya adalah hak milik dari mustahiq delapan asnaf. Konsep distribusi produktif yang dikedepankan oleh sejumlah lembaga pengumpul zakat, biasanya dipadukan dengan dana lain yang terkumpul, misal infaq dan sadaqah.
Dalam Pendistribusian Zakat Produktif disini dapat diklarifikasikan menjadi dua bagian yaitu antara lain:[5]
a.       Tradisional/konvensional
Zakat yang diberikan dalam bentuk barang-barang produktif, dimana dengan menggunakan barang-barang tersebut, para mustahiq dapat menciptakan suatu usaha. Misalnya pemberian bantuan ternak kambing, sapi.
b.      Kreatif
Zakat yang diwujudkan dalam bentuk pemberian modal bergulir, baik untuk permodalan proyek sosial seperti membangun sekolah, tempat ibadah, maupun sebagai modal usaha untuk membantu mengembangkan usaha para pedagang atau pengusaha kecil[6].
Zakat secara produktif ini bukan tanpa dasar, zakat ini pernah terjadi di zaman Rasulullah dikemukakan dalam sebuah hadits riwayat Imam Muslim dari Salim Bin Abdillah Bin Umar dari ayahnya, bahwa Rasulullah telah memberikan kepadanya zakat lalu menyuruhnya untuk dikembangkan atau disedekahkan lagi.
Dalam kaitan dengan penyaluran zakat yang bersifat produktif, ada pendapat menarik yang dikemukakan oleh Syekh Yusuf Qardhawi, dalam bukunya yang fenomenal, yaitu Fiqh Zakat, bahwa pemerintah Islam diperbolehkan membangun pabrik-pabrik atau perusahaan-perusahaan dari uang zakat untuk kemudian kepemilikan dan keuntungannya bagi kepentingan fakir miskin, sehingga akan terpenuhi kebutuhan hidup mereka sepanjang masa. Dan untuk saat ini peranan pemerintah dalam pengelolaan zakat digantikan oleh Badan Amil Zakat atau Lembaga Amil Zakat[7].
Menurut K.H. Didin Hafidhuddin,M.Sc. BAZ ataupun LAZ, jika memberikan zakat yang bersifat produktif, harus pula melakukan pembinaan dan pendampingan kepada para mustahik agar kegiatan usahanya dapat berjalan dengan baik. Disamping melakukan pembinaan dan pendampingan kepada para mustahik dalam kegiatan usahanya, BAZ dan LAZ juga harus memberikan pembinaan ruhani dan intelektual keagamaannya agar semakin meningkat kualitas keimanan dan keIslamanannya[8].
Selain sebagai modal usaha, penyaluran zakat produktif juga dapat berupa penyediaan sarana kesehatan gratis dan sekolah gratis untuk anak keluarga miskin. Tetapi sekali lagi, pendataan keluarga miskin ini harus dilakukan dengan ketat agar zakat tidak terdistribusi kepada golongan yang tidak berhak.
Pola distribusi zakat produktif yang dikembangkan pada umunya mengambil skema qardul hasan. Yaitu salah satu bentuk pinjaman yang menetapkan tidak adanya tingkat pengembalian tertentu dari pokok pinjaman. Namun bila ternyata si peminjam dana tersebut tidak mampu mengembalikan pokok tersebut, maka hukum zakat mengidentifikasikan bahwa si peminjam tersebut tidak dapat dituntut atas ketidakmampuannya tersebut, karena pada dasarnya dana tersebut adalah hak mereka. Pola distribusi produktif yang mengedepankan pola qardul hasan dapat diilustrasikan sbb:


Ada juga penyaluran dana zakat produktif yang memanfaatkan skema mudharabah. Lembaga BAZIS membuat inovasi dimana lembaga amil tersenut berlaku sebagai investor (mudharib) yang menginvestasikan dana hasil pengumpulan ZIS kepada mustahiq sendiri, sebagai peminjam dana yang dituntut tingkat pengembalian tertentu khusus bagi para pedagang kecil di pasar tradisional, dengan angsuran pinjaman dan tingkat pengembalian dibayarkan per hari. Berikut skema penyaluran produktif dana zakat dengan pola mudharabah:


antara pola mudharabah dan qardul hasan hampir sama. Namun yang membedakan adalah apabila usaha tersebut untung, maka mustahiq dan BAZ/LAZ saling membagi hasil keuntungan. Mustahiq mengambil sejumlah persen laba dan sejumlah persen dikembalikan kepada BAZ/LAZ berikut modalnya. BAZ/LAZ menerima modal kembali berikut persentase keuntungan usaha. Untuk selanjutnya sama.

            Langkah-langkah Pendistribusian Zakat[9]
Adapun langkah-langkah pendistribusian zakat produktif tersebut berupa sebagai berikut:
a.       Pendataan yang akurat sehingga yang menerima benar-benar orang yang tepat.
b.      Pengelompokkan peserta ke dalam kelompok kecil, homogen baik dari sisi gender, pendidikan, ekonomi dan usia dan kemudian dipilih ketua kelompok, diberi pembimbing dan pelatih.
c.       Pemberian pelatihan dasar, pada pendidikan dalam pelatihan harus berfokus untuk melahirkan pembuatan usaha produktif, manajemen usaha, pengelolaan keuangan usaha dan lain-lain. Pad pelatihan ini juga diberi penguatan secara agama sehingga melahirkan anggota yang berkarakter dan bertanggung jawab.
d.      Pemberian dana, dana diberikan setelah materi tercapai, dan peserta dirasa telah dapat menerima materi dengan baik. Usaha yang telah direncanakan pun dapat diambil. Anggota akan dibimbing oleh pembimbing dan mentor secara intensif sampai anggota tersebut mandiri untuk menjalankan usaha sendiri.
   3.    Investasi Dana Zakat
Menurut Dr. Umer Chapra, zakat mempunyai dampak positif dalam meningkatkan ketersediaan dana bagi investasi sebab pembayaran zakat pada kekayaan dan harta yang tersimpan akan mendorong para pembayar zakat untuk mencari pendapatan dari kekayaan mereka, sehingga mampu membayar zakat tanpa mengurangi kekayaannya.
Dengan demikian, dalam sebuah masyarakat yang nilai-nilai Islam-nya telah terinternalisasi, simpanan emas dan perak serta kekayaan yang tidak produktif cenderung akan berkurang, sehingga meningkatkan investasi dan menimbulkan kemakmuran yang lebih besar.
Pendapat senada juga dikemukakan oleh Neal Robinson, Guru Besar pada Universty of Leeds, yang mengatakan bahwa zakat mempunyai fungsi sosial ekonomi yang sangat tinggi, dan berhubungan dengan adanya larangan riba, zakat mengarahkan kita untuk tidak menumpuk harta namun malahan merangsang investasi untuk alat produksi atau perdagangan.
Namun persolalan yang sangat akan muncul adalah siapa yang akan menginvestasikan dana tersebut?. Dalam kajian fiqh klasik, pembahasan yang sudah akrab berkisar pada kemungkinan mustahiq sendiri yang menginvestasikan dana tersebut atau si muzakki yang menginvestasikannya. Para ahli fiqh klasik menyebutkan bahwa: [10]
1.      Bila mustahiq yang menginvestasikan dana zakat
Seorang mustahiq dapat menginvestasikan dana zakatnya setelah mustahiq menerima dana zakatnya. Ketika zakat diserahkan maka otomatis akan jadi milik sepenuhnya. Ada empat golongan dari delapan asnaf yang diperbolehkan untuk menginvestasikan dana zakatnya, yaitu fakir, miskin, amil dan muallaf. Namun jika melihat asnaf versi Indonesia maka kemungkinannya adalah:
a.       Sulit bagi fakir miskin untuk menginvestasikan dana zakatnya. Karena kebutuhan primer mereka adalah pemenuhan sandang, pangan, papan yang harus segera dikonsumsi.
b.      Ada kemungkinan bagi amil dan muallaf untuk menginvestasikan dana zakatnya. Namun untuk muallaf mungkin akan sulit karena ketidakadaan karakteristik muallaf Indonesia pada umumnya. Berbeda dengan amil, yang dapat menjadi peluang tersendiri bagi seseorang yang sudah cukup mapan taraf hidupnya untuk berinvestasi.
Lalu untuk empat golongan sisanya (riqab, gharim, fisabilillah, dan ibnu sabil) ialah untuk menginvestasikan dana zakatnya adalah tindakan yang sangat cerdas. Kecuali bagi gharim, karena kelompok ini punya kewajiban terlebih dahulu yang harus dipenuhi yaitu membayar hutangnya sendiri.
2.      Bila muzakki yang menginvestasikan dana zakat
Menurut ahli fiqh klasik terdapat perdebatan dalam hal ini. Namun dalam konteks kekinian, sangat mungkin seorang muzakki berada pada tingkat kesejahteraan yang luar biasa. Tarif zakat dari asetnya yang sudah cukup untuk diinvestasikan pada saham perusahaan. Saat pembelian saham, muzakki hanya sebagai wakil dari mustahiq untuk menginvestasikan dana zakatnya. Jadi saham tersebut atas nama mustahiq. Mustahiq harus mampu menangguhkan haknya untuk mengkonsumsi dana zakat tersebut. Namun tahun depan, mustahiq dapat mencicipi dana dari deviden saham perusahaan tersebut.
3.      Bila pemerintah atau yang mewakilinya (amil) yang menginvestasikan dana zakat
Dalam kajian fiqh klasik, pembahasan ini belum banyak dibahas. Terlepas dari perbedaan pendapat para ulama, yang terpenting adalah mencari pola pendistribusian yang paling efektif secara ekonomi, namun tetap tidak jauh dari pendapat madzab yang tervalid. Dari sudut pandang para ulama, memang pada hukum asalnya, dana zakat yang diterima pemerintah ataupun yang mewakili harus segera mendistribusikannya kepada para mustahiq dan tidak dibenarkan untuk menundanya, maka hal itu dapat dibenarkan, sedang untuk menginvestasikannya, hal ini dapat dibenarkan jika ada alas an yang kuat dari kepentingan menginvestasikannya, seperti untuk menjamin adanya sumber-sumber keuangan yang relative permanen atau untuk mengurangi pengangguran dari pihak delapan asnaf.
Jika pendapat ini dijadikan acuan, kepentingan selanjutnya adalah bagaimana dana zakat yang diinvestasikan tersebut tidak habis karena adanya kerugian investasi. Hal ini mengharuskan pihak-pihak yang menginvestasikan dana zakat harus benar-benar mempelajari prospek dan fisibilitas dari setiap bidang usaha yang akan menjadi objek investasi.


[1] Dewi Laela Khilyatin. “Teori Umum Tentang Manajemen Zakat”. http://pondok-darussalam.blogspot.com/2009/07/teori-umum-tentang-manajemen-zakat.html. 30 Juli 2009. Diakses tanggal 25 Mei 2010
[2] Arief Mufraini, Akuntansi & Manajemen Zakat (Jakarta: Kencana, 2008), 154.
[3] Fachruddin, Fiqh dan Manajemen Zakat di Indonesia (Yogyakarta: Sukses Offset, 2008), 314.
[4] Amiruddin, dkk. Anatomi Fiqh Zakat (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), 3.
[5] Ibid
[6] Departemen Agama, Manajemen Pengelolaan Zakat (Depok: Direktorat Pengembangan Zakat dan Wakaf, 2005), 35-36.
[7] Yusuf Al-Qardawi. Hukum Zakat, Edisi terjemahan (Bogor: Litera AntarNusa, . 1997)

[8]Susilo Ady Saputro. “Zakat Produktif sebagai Upaya Mengurangi Kemiskinan di Indonesia” http://anakbanyumas.wordpress.com/2010/04/23/zakat-produktif-sebagai-upaya-mengurangi-kemiskinan-di-indonesia/#more-159. Diakses 24 Mei 2010

[9]“Zakat Konsumtif dan Produktif” http://makalah-ibnu.blogspot.com/2009/09/zakat-konsumtif-dan-zakat-produktif.html. Di akses 24 Mei 2010.
[10] Arief, Akuntansi, 177-178.

0 komentar:

Posting Komentar

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More