Selasa, 17 Mei 2011

Sejarah Pemikiran Ekonomi Abu Ubaid


Sejarah Pemikiran Ekonomi Abu Ubaid
Oleh : Zainur Rahman

1.      Biografi
Abu Ubaid bernama Lengkap Al-Qasim bin Sallam bin Miskin bin Zaid Al-Harawi Al-Azadi Al-Baghdadi. Beliau terlahir dikota Hirrah Khurasan sebelah barat laut Afganistan pada tahun 150 H dari ayah keturunan Byzantium, maula dari suku Azad[1]. Ia belajar pertamakali dikota asalnya, lalu pada usia 20 dia mulai berkelana dan mencari ilmu ke Kufah, Basrah, dan Baghdad untuk belajar tata bahasa Arab, qirâ’ah, tafsir, hadis, dan fikih (di mana tidak dalam satu bidang pun ia bermadzhab tetapi mengikuti dari paham tengah campuran). Pada tahun 192 H, Thâbit ibn Nasr ibn Mâlik (gubernur yang ditunjuk Harun al Rasyid untuk propinsi Thughur) menunjuknya sebagai qâdi’ di Tarsus sampai 210 H. Kemudian ia tinggal di Baghdad selama 10 tahun, pada tahun 219 H, setelah berhaji ia tinggal di Mekkah sampai wafatnya. Ia meninggal pada tahun 224 H.
2.      Karya Abu Ubaid
Dalam setiap harinya, Menurut Abû Bakar ibn Al-Anbari, Abû ‘Ubaid membagi malamnya pada 3 bagian, 1/3 nya untuk tidur, 1/3 nya untuk shalat malam dan 1/3 nya untuk mengarang. Bagi Abû ‘Ubaid satu hari mengarang itu lebih utama baginya dari pada menggoreskan pedang di jalan AllahHasil karyanya ada sekitar 20, baik dalam bidang ilmu nahwu, qirâ’ah, fikih, syair dan lain-lain. Yang terbesar dan terkenal adalah Kitâb Al-Amwâl dalam bidang fikih. Kitâb al-Amwâl dari Abû ‘Ubaid merupakan suatu karya yang lengkap tentang keuangan negara dalam Islam. Buku ini sangat kaya dengan sejarah perekonomian dari paruh pertama abad kedua Hijrah. Buku ini juga merupakan rangkuman (compendium) tradisi asli (authentic) dari Nabi dan Atsar para sahabat dan tabi’în tentang masalah ekonomi[2]. Dalam bukunya tersebut Abû ‘Ubaid tidak hanya mengungkapkan pendapat orang lain tetapi juga mengemukakan pendapatnya sendiri.
Kitab al Amwal merupakan sebuah mahakarya tentang ekonomi yang dibuat oleh Abu Ubaid yang menekankan beberapa issu mengenai perpajakan, hukum, serta hukum administrasi dan hukum internasional. Kitab Al-Amwal secara komprehensif membahas tentang sistem keuangan publik islam terutama pada bidang administrasi pemerintahan. kitab  ini juga memuat sejarah ekonomi Islam selama dua abad pertama hijriyah, dan merupakan sebuah ringkasan tradisi Islam asli dari Nabi, para sahabat dan para pengikutnya mengenai permasalahan ekonomi. Abu ubaid, dalam Kitab Al-Amwal, banyak mengutip pandangan dan perlakuan ekonomi dari imam dan ulama terdahulu. Ia sering mengutip pandangan Malik ibn Anas dan pandangan sebagian besar ulama madzhab Syafi’i lainnya, dan juga mengutip beberapa ijtihad Abu Hanifah, Abu Yusuf dan Muhammad ibn al-Hasan asy-Syaibani[3].
3.      Pandangan Ekonomi Abu Ubaid
a.      Filosofi Hukum dari Sisi Ekonomi[4]
Abû ‘Ubaid dalam Al-Amwal jika dilihat dari sisi filsafat hukum maka akan tampak bahwa Abû ‘Ubaid menekankan keadilan sebagai prinsip utama. Baginya, pengimplementasian dari prinsip ini akan membawa kepada kesejahteraan ekonomi dan keselarasan sosial. Pada dasarnya ia memiliki pendekatan yang berimbang kepada hak-hak individual, publik dan negara; jika kepentingan individual berbenturan dengan kepentingan publik maka ia akan berpihak pada kepentingan publik.
Tulisan-tulisan Abû ‘Ubaid lahir pada masa kuatnya Dinasti Abbasiyah dan tidak ada masalah legitimasi, sehingga pemikirannya seringkali menekankan pada kebijakan khalifah untuk membuat keputusan (dengan kehati-hatian). Khalifah diberikan kebebasan memilih di antara alternatif pandangannya asalkan dalam tindakannya itu berdasarkan pada ajaran Islam dan diarahkan pada kemanfaatan kaum Muslim, yang tidak berdasarkan pada kepentingan pribadi.
Lebih jauh, pengakuannya terhadap otoritas imam dalam memutuskan untuk kepentingan publik seperti membagi tanah taklukan pada para penakluk ataupun membiarkan kepemilikannya pada penduduk setempat atau lokal, adalah termasuk dalam hal tersebut. Mirip dengan itu setelah mengungkap alokasi dari khums, ia menyebutkan bahwa imam yang adil dapat memperluas batasan-batasan yang telah ditentukan apabila mendesaknya kepentingan publik. Akan tetapi di lain pihak, Abû ‘Ubaid dalam pembahasannya secara tegas menekankan bahwa pembendaharaan negara tidak boleh disalahgunakan atau dimanfaatkan oleh penguasa untuk kepentingan pribadinya.
Saat membahas tentang tarif atau persentase untuk pajak tanah dan poll-tax, ia menyinggung tentang pentingnya keseimbangan antara kekuatan finansial dari subyek non-Muslim, dalam finansial modern disebut sebagai “capacity to pay” (kemampuan membayar) dan juga memperhatikan kepentingan para penerima Muslim.
Ia membela pendapat bahwa tarif pajak kontraktual tidak dapat dinaikkan tapi dapat diturunkan jika terjadi ketidakmampuan membayar serius. Ia juga menjelaskan beberapa bab untuk menekankan, di satu sisi bahwa pengumpul kharaj, jizyah ‘ushur atau zakat tidak boleh menyiksa subyeknya dan di sisi lain bahwa para subyek harus memenuhi kewajiban finansialnya secara teratur dan pantas (wajar).
Dengan perkataan lain, Abû ‘Ubaid berupaya untuk menghentikan terjadinya diskriminasi atau penindasan dalam perpajakan serta terjadinya penghindaran terhadap pajak.
b.      Dikotomi Badui ke Urban
Abû ‘Ubaid menegaskan bahwa berbeda dengan kaum badui ( masyarakat tradisional/desa), kaum urban atau perkotaan: 1) ikut terhadap keberlangsungan negara dengan berbagi kewajiban administrasi dari semua muslim; 2) memelihara dan memperkuat pertahanan sipil melalui mobilisasi jiwa dan harta mereka; 3) menggalakkan pendidikan dan pengajaran melalui pembelajaran dan pengajaran al-Qur’an dan al-Sunnah dengan  diseminasi (penyebaran) keunggulan kualitas isinya; 4) melakukan kontribusi terhadap keselarasan sosial melalui pembelajaran dan penerapan hudud; 5) memberikan contoh universalisme Islam dengan shalat berjamaah.[5]
Singkatnya disamping keadilan ‘Abû ‘Ubaid mengembangkan suatu negara Islam yang berdasarkan administrasi, pertahanan, pendidikan, hukum dan cinta. Karakteristik tersebut hanya diberikan oleh Allah kepada kaum Urban, kaum Badui biasanya tidak menyumbang pada kewajiban publik sebagaimana kewajiban kaum Urban, tidak dapat menerima manfaat pendapatan fai’ seperti kaum Urban, mereka tidak berhak menerima tunjangan dan provisi dari negara, mereka memiliki hak klaim sementara terhadap penerimaan fai’  hanya pada saat terjadi tiga kondisi krisis seperti saat invasi atau penyerangan musuh, kekeringan yang dahsyat, dan kerusuhan sipil.
Abû ‘Ubaid memperluas aturan ini pada masyarakat pegunungan dan pedesaan, sementara ia memberikan kepada anak-anak perkotaan hak yang sama dengan orang dewasa terhadap tunjangan walaupun kecil yang berasal dari pendapatan fai’, yang mungkin karena menganggap mereka (anak-anak) sebagai penyumbang potensial terhadap kewajiban publik yang terkait. Lebih lanjut Abû ‘Ubaid mengakui adanya hak dari para budak perkotaan terhadap arzak (jatah) yang bukan tunjangan[6].
Dari semua ini Abû ‘Ubaid membedakan antara kehidupan para badui dengan kultur menetap perkotaan dan mengembangkan komunitas muslim atas dasar perhargaan martabat perkotaan. Solidaritas serta kerjasama merasakan kohesi sosial berorientasi urban dan komitmen vertikal dan horizontal sebagai unsur esensial dari stabilitas sosio politik dan makroekonomi. Dari apa yang dibahas sejauh ini dapat terbukti bahwa Abû ‘Ubaid selalu memelihara keseimbangan antara hak-hak dengan kewajiban-kewajiban warganegara.
c.        Kepemilikan Publik[7]  
Abû ‘Ubaid mengakui adanya kepemilikan pribadi dan publik karena pendekatan terhadap kepemilikan tersebut sudah sangat dikenal dan dibahas secara luas oleh banyak ulama.
Saya mengiginkan suatu hal yang dapat mencukupi generasi yang pertama dan generasi yang terakhir
Pernyataan abu ubaid diatas mengisyaratkan bahwasannya keuntungan yang didapat dapat dimanfaatkan untuk kemaslahatan umat islam.
d.      Kepemilikan dalam Pandangan Kebijakan Perbaikan Pertanian[8]
Sesuatu yang baru dalam hubungan antara kepemilikan dengan kebijakan perbaikan pertanian ditemukan oleh Abû ‘Ubaid secara implisit. Menurutnya, kebijakan pemerintahan seperti iqtâ’ terhadap tanah gurun dan deklarasi resmi terhadap kepemilikan individual dari tanah tandus atau tanah yang sedang diusahakan kesuburannya atau diperbaiki sebagai insentif untuk meningkatkan produksi pertanian. Jika dibiarkan sebagai insentif untuk meningkatkan produksi pertanian, maka tanah yang diberikan dengan persyaratan untuk ditanami dibebaskan dari kewajiban membayar pajak. Jika dibiarkan menganggur selama tiga tahun berturut-turut akan didenda dan kemudian akan dialihkan kepemilikannya oleh imam. Bahkan tanah gurun yang termasuk dalam hima, pribadi dengan maksud untuk direklamasi jika tidak ditanami dalam periode yang sama dapat ditempati oleh orang lain dengan proses yang sama. Pemulihan yang sebenarnya adalah pada saat tanah tersebut ditanami setelah diairi, manakala tandus, kering atau rawa-rawa.
Jadi, menurut Abû ‘Ubaid sumber dari publik seperti sumber air, pada rumput penggembalaan dan tambang minyak tidak boleh pernah dimonopoli seperti pada hima (tanam pribadi). Semua ini hanya dapat dimasukkan ke dalam kepemilikan negara yang digunakan untuk pelayanan masyarakat.
e.       Pertimbangan Kepentingan[9]
Setelah merujuk pada banyak pendapat tentang seberapa besar seseorang berhak menerima zakat. Abû ‘Ubaid sangat tidak setuju dengan mereka yang berpendapat bahwa pembagian yang sama antara delapan kelompok dari penerima zakat dan cenderung untuk meletakkan suatu batas tertinggi (ceiling) terhadap penerimaan perorangan. Bagi Abû ‘Ubaid yang paling penting adalah memenuhi kebutuhan dasar seberapapun besarnya serta bagaimana menyelamatkan orang-orang dari kelaparan dan kekurangan.
Karenanya pendekatan ini mengindikasikan adanya tiga tingkatan sosio ekonomi pengelompokan yang terkait dengan status zakat yaitu kalangan kaya yang terkena wajib zakat, kalangan menengah yang tidak terkena wajib zakat tetapi juga tidak berhak menerima zakat, kalangan penerima zakat (mustahik). Berkaitan dengan itu ia mengemukakan pentingnya distribusi kekayaan melalui zakat. Secara umum‘Abû ‘Ubaid mengadopsi prinsip “bagi setiap orang adalah menurut kebutuhannya masing-masing” (likulli wâhidin hasba hâjatihi) dan ia secara mendasar lebih condong pada prinsip “bagi setiap orang adalah menurut haknya”,
f.       Fungsi Uang[10]
Pada prinsipnya, Abû ‘Ubaid mengakui adanya dua fungsi uang yang tidak mempunyai nilai intrinsik sebagai standar dari nilai pertukaran (standard of exchange value) dan sebagai media pertukaran (medium of exchange). dalam hal ini ia menyatakan:
“ Ada hal yang tidak diragukan lagi bahwa emas dan perak tidak layak untuk apa pun kecuali keduannya menjadi harga dari barang dan jasa. Keuntungan yang paling tinggi yang dapat diperoleh dari kedua benda ini adalah penggunaan untuk membeli sesuatu (infaq).
Pernyataan abu ubaid tersebut menunjukkan bahwa ia mendukung teori konvensional mengenai uang logam, walaupun sama sekali tidak menjelaskan mengapa emas dan perak tidak layak untuk apa pun kecuali keduannya menjadi harga dari barang dan jasa. Tampak jelas bahwa pendekatan ini menunjukkan dukungan Abû ‘Ubaid terhadap teori ekonomi mengenai yang logam, ia merujuk pada kegunaan umum dan relatif konstannya nilai emas dan perak dibanding dengan komoditas yang lain. Jika kedua benda tersebut digunakan sebagian komoditas maka nilainya akan dapat berubah-ubah pula karena dalam hal tersebut keduanya akan memainkan peran yang berbeda sebagai barang yang harus dinilai atau sebagai standar penilaian dari barang lainnya. Walaupun Abû ‘Ubaid tidak menyebutkan fungsi penyimpanan nilai (store of value) dari emas dan perak, ia secara implisit mengakui adanya fungsi tersebut ketika membahas tentang jumlah tabungan minimum tahunan yang wajib terkena zakat dan jumlah zakatnya.


[1] Adimarwan Karim. Sejarah Pemikiran Ekonomi. (Jakarta: Raya Grafindo Persada, 2006), 242
[2] P3EI dan UII, Ekonomi Islam, hal 108.
[3] Adimarwan Azwar Karim, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2004
[4] Ibid, 251-253
[5] Ibid, 254
[6] Ibid, 254
[7] http://kismawadi.blogspot.com/2010/04/biografi-dab-konsep-pemikiran-abu-ubaid.html
[8] Adimarwan Karim, 255-256
[9] Ibid, 256-257
[10] Ibid, 258-259

0 komentar:

Posting Komentar

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More