Rabu, 01 Juni 2011

Kebenaran dalam Perspektif Filsafat


 Kebenaran dalam Perspektif Filsafat
Oleh : Zainur Rahman

A.    Pengertian  Kebenaran

Maksud dari hidup ini adalah untuk mencari kebenaran. Tentang kebenaran ini, Plato pernah berkata: “Apakah kebenaran itu? lalu pada waktu yang tak bersamaan, bahkan jauh belakangan Bradley menjawab; “Kebenaran itu adalah kenyataan”, tetapi bukanlah kenyataan (dos sollen) itu tidak selalu yang seharusnya (dos sein) terjadi. Kenyataan yang terjadi bisa saja berbentuk ketidakbenaran (keburukan). Jadi ada 2 pengertian kebenaran, yaitu kebenaran yang berarti nyata-nyata terjadi di satu pihak, dan kebenaran dalam arti lawan dari keburukan (ketidakbenaran) (Syafi’i, 1995).
Dalam bahasan ini, makna “kebenaran” dibatasi pada kekhususan makna “kebenaran keilmuan (ilmiah)”. Kebenaran ini mutlak dan tidak sama ataupun langgeng, melainkan bersifat nisbi (relatif), sementara (tentatif) dan hanya merupakan pendekatan (Wilardo, 1985:238-239). Kebenaran intelektual yang ada pada ilmu bukanlah suatu efek dari keterlibatan ilmu dengan bidang-bidang kehidupan. Kebenaran merupakan ciri asli dari ilmu itu sendiri. Dengan demikian maka pengabdian ilmu secara netral, tak bermuara, dapat melunturkan pengertian kebenaran sehingga ilmu terpaksa menjadi steril. Uraian keilmuan tentang masyarakat sudah semestinya harus diperkuat oleh kesadaran terhadap berakarnya kebenaran (Daldjoeni, 1985:235).
Selaras dengan Poedjawiyatna (1987:16) yang mengatakan bahwa persesuaian antara pengetahuan dan obyeknya itulah yang disebut kebenaran. Artinya pengetahuan itu harus yang dengan aspek obyek yang diketahui. Jadi pengetahuan benar adalah pengetahuan obyektif.
Meskipun demikian, apa yang dewasa ini kita pegang sebagai kebenaran mungkin suatu saat akan hanya pendekatan kasar saja dari suatu kebenaran yang lebih jati lagi dan demikian seterusnya. Hal ini tidak bisa dilepaskan dengan keberadaan manusia yang transenden,dengan kata lain, keresahan ilmu bertalian dengan hasrat yang terdapat dalam diri manusia. Dari sini terdapat petunjuk mengenai kebenaran yang trasenden, artinya tidak henti dari kebenaran itu terdapat diluar jangkauan manusia.
B.     Teori-Teori kebenaran
Untuk menentukan kepercayaan dari sesuatu yang dianggap benar, para filosof bersandar kepada 5 cara untuk menguji kebenaran, yaitu koresponden (yakni persamaan dengan fakta), teori koherensi atau konsistensi, teori pragmatis, teori kebenaran performatif, dan teori kebenaran konsensus.

1.      Teori Korespondensi (Kebenaran Faktual)
Rumusan teori korespondensi tentang kebenaran ini bermula dari Aritoteles (384-322 S.M.) dan disebut teori penggambaran yang definisinya berbunyi sebagai berikut :
“VERITAS EST ADAEQUATIO INTELCTUS ET RHEI”
[kebenaran adalah persesuaian antara pikiran dan kenyataan].
Kemudian teori  korespondensi  ini dikembangkan oleh  Bertrand  Russel (1872-1970). Ujian kebenaran yang dinamakan teori korespondensi adalah paling diterima secara luas oleh kelompok realisme dan materialisme. Teori ini berprinsip pada pemikiran Induksi, yaitu pengambilan kesimpulan dari Umum ke Khusus. Kebebaran diperoleh setelah diadakan pengamatan dan pembuktian (Observasi dan Verifikasi).
Menurut teori ini, kebenaran adalah kesetiaan kepada realita obyektif (fidelity to objective reality). Kebenaran adalah persesuaian antara pernyataan tentang fakta dan fakta itu sendiri, atau antara pertimbangan (judgement) dan situasi yang pertimbangan itu berusaha untuk melukiskan, karena kebenaran mempunyai hubungan erat dengan pernyataan atau pemberitaan yang kita lakukan tentang sesuatu (Titus, 1987:237).
Jadi, secara sederhana dapat disimpulkan bahwa berdasarkan teori korespondensi suatu pernyataan adalah benar jika materi pengetahuan yang dikandung pernyataan itu berkorespondensi (berhubungan) dengan obyek yang dituju oleh pernyataan tersebut (Suriasumantri, 1990:57). Misalnya jika seorang mahasiswa mengatakan “kota Yogyakarta terletak di pulau Jawa” maka pernyataan itu adalah benar sebab pernyataan itu dengan obyek yang bersifat faktual, yakni  kota Yogyakarta memang benar-benar berada di pulau Jawa. Sekiranya orang lain yang mengatakan bahwa “kota Yogyakarta berada di pulau Sumatra” maka pernnyataan itu adalah tidak benar sebab tidak terdapat obyek yang sesuai dengan pernyataan terebut. Dalam hal ini maka secara faktual “kota Yogyakarta bukan berada di pulau Sumatra melainkan di pulau Jawa”.
Menurut teori koresponden, ada atau tidaknya keyakinan tidak mempunyai hubungan langsung terhadap kebenaran atau kekeliruan, oleh karena atau kekeliruan itu tergantung kepada kondisi yag sudah ditetapkan atau diingkari. Jika sesuatu pertimbangan sesuai dengan fakta, maka pertimbangan ini benar, jika tidak, maka pertimbangan itu salah (Jujun, 1990:237).

2.      Teori Koherensi (Kebenaran Rasio)
Berdasarkan teori ini suatu pernyataan dianggap benar bila pernyataan itu bersifat koheren atau konsisten dengan pernyataan-pernyataan sebelumnya yang dianggap benar (Jujun, 1990:55)., artinya pertimbangan adalah benar jika pertimbangan itu bersifat konsisten dengan pertimbangan lain yang telah diterima kebenarannya, yaitu yang koheren menurut logika.
Misalnya, bila kita menganggap bahwa “semua manusia pasti akan mati” adalah suatu pernyataan yang benar, maka pernyataan bahwa “si Hasan seorang manusia dan si Hasan pasti akan mati” adalah benar pula, sebab pernyataan kedua adalah konsisten dengan pernyataan yang pertama.
Seorang sarjana Barat A.C Ewing (1951:62) menulis tentang teori koherensi, ia mengatakan bahwa koherensi yang sempurna merupakan suatu ideal yang tak dapat dicapai, akan tetapi pendapat-pendapat dapat dipertimbangkan menurut jaraknya dari ideal tersebut. Sebagaimana pendekatan dalam aritmatik, dimana pernyataan-pernyataan terjalin sangat teratur sehingga tiap pernyataan timbul dengan sendirinya  dari pernyataan tanpa berkontradiksi dengan pernyataan-pernyataan lainnya. Jika kita menganggap bahwa 2+2=5, maka tanpa melakukan kesalahan lebih lanjut, dapat ditarik kesimpulan yang menyalahi tiap kebenaran aritmatik tentang angka apa saja.
Kelompok idealis, seperti Plato (427-347 S.M.) juga filosof-filosof modern seperti Hegel,  F. H. Bradley (1864-1924) dan Royce memperluas prinsip koherensi sehingga meliputi dunia; dengan begitu maka tiap-tiap pertimbangan yang benar  dan tiap-tiap sistem kebenaran yang parsial bersifat terus menerus dengan keseluruhan realitas dan memperolah arti dari keseluruhan tersebut (Titus, 1987:239). Meskipun demikian perlu lebih dinyatakan dengan referensi kepada konsistensi faktual, yakni persetujuan antara suatu perkembangan dan suatu situasi lingkungan tertentu.

3.      Teori Pragmatik
Teori selanjutnya adalah teori pragmatisme tentang kebenaran. Pragmatisme berasal dari bahasa yunani pragma, artinya yang dikerjakan, yang dilakukan, perbuatan, tindakan.
Teori pragmatik dicetuskan oleh Charles S. Peirce (1839-1914) dalam sebuah makalah yang terbit pada tahun 1878 yangberjudul “How to Make Ideals Clear”. Teori ini kemudian dikembangkan oleh beberapa ahli filsafat yang kebanyakan adalah berkebangsaan Amerika yang menyebabkan filsafat ini sering dikaitkan dengan filsafat Amerika. Ahli-ahli filasafat ini di antaranya adalah William James (1842-1910), John Dewey (1859-1952), George Hobart Mead (1863-1931) dan C.I. Lewis (Jujun, 1990:57)
Pragmatisme menantang segala otoritanianisme, intelektualisme dan rasionalisme. Bagi mereka ujian kebenaran adalah manfaat (utility), kemungkinan dikerjakan (workability) atau akibat  yang memuaskan (Titus, 1987:241), Sehingga dapat dikatakan bahwa pragmatisme adalah suatu aliran yang mengajarkan bahwa yang benar ialah apa yang membuktikan dirinya sebagai benar dengan perantaraan akibat-akibatnya yang bermanfaat secara praktis. Pegangan pragmatis adalah logika pengamatan dimana kebenaran itu membawa manfaat bagi hidup praktis (Hadiwijono, 1980:130) dalam kehidupan manusia.
Kriteria pragmatisme juga dipergunakan oleh ilmuan dalam menentukan kebenaran ilmiah dalam prespektif waktu. Secara historis pernyataan ilmiah yang sekarang dianggap benar suatu waktu mungkin tidak lagi demikian. Dihadapkan dengan masalah seperti ini maka ilmuan bersifat pragmatis selama pernyataan itu fungsional dan mempunyai kegunaan maka pernyataan itu dianggap benar, sekiranya pernyataan itu tidak lagi bersifat demikian, disebabkan perkembangan ilmu itu sendiri yang menghasilkan pernyataan baru, maka pernyataan itu ditinggalkan (Jujun, 1990:59), demikian seterusnya. Tetapi kriteria kebenaran cenderung menekankan satu atau lebih dati tiga pendekatan (1) yang benar adalah yang memuaskan keinginan kita, (2) yang benar adalah yang dapat dibuktikan dengan eksperimen, (3) yang benar adalah yang membantu dalam perjuangan hidup biologis. Oleh karena teori-teori kebenaran (koresponden, koherensi, dan pragmatisme) itu lebih bersifat saling menyempurnakan daripada saling bertentangan, maka teori tersebut dapat digabungkan dalam suatu definisi tentang kebenaran. kebenaran adalah persesuaian yang setia dari pertimbangan dan ide kita kepada fakta pengalaman atau kepada alam seperti adanya. Akan tetapi karena kita dengan situasi yang sebenarnya, maka dapat diujilah pertimbangan tersebut dengan konsistensinnya dengan pertimbangan-pertimbangan lain yang kita anggap sah dan benar, atau kita uji dengan faidahnya dan akibat-akibatnya yang praktis (Titus, 1987:245).

4.      Teori Kebenaran Performatif
Teori ini menyatakan bahwa kebenaran diputuskan atau dikemukakan oleh pemegang otoritas tertentu. Contoh pertama mengenai penetapan 1 Syawal. Sebagian muslim di Indonesia mengikuti fatwa atau keputusan MUI atau pemerintah, sedangkan sebagian yang lain mengikuti fatwa ulama tertentu atau organisasi tertentu. Contoh kedua adalah pada masa rezim orde lama berkuasa, PKI mendapat tempat dan nama yang baik di masyarakat. Ketika rezim orde baru, PKI adalah partai terlarang dan semua hal yang berhubungan atau memiliki atribut PKI tidak berhak hidup di Indonesia. Contoh lainnya pada masa pertumbuhan ilmu, Copernicus (1473-1543) mengajukan teori heliosentris dan bukan sebaliknya seperti yang difatwakan gereja. Masyarakat menganggap hal yang benar adalah apa-apa yang diputuskan oleh gereja walaupun bertentangan dengan bukti-bukti empiris.
Dalam fase hidupnya, manusia kadang kala harus mengikuti kebenaran performatif. Pemegang otoritas yang menjadi rujukan bisa pemerintah, pemimpin agama, pemimpin adat, pemimpin masyarakat, dan sebagainya. Kebenaran performatif dapat membawa kepada kehidupan sosial yang rukun, kehidupan beragama yang tertib, adat yang stabil dan sebagainya.
Masyarakat yang mengikuti kebenaran performatif tidak terbiasa berpikir kritis dan rasional. Mereka kurang inisiatif dan inovatif, karena terbiasa mengikuti kebenaran dari pemegang otoritas. Pada beberapa daerah yang masyarakatnya masih sangat patuh pada adat, kebenaran ini seakan-akan kebenaran mutlak. Mereka tidak berani melanggar keputusan pemimpin adat dan tidak terbiasa menggunakan rasio untuk mencari kebenaran.

5.      Teori Kebenaran Konsensus
Suatu teori dinyatakan benar jika teori itu berdasarkan pada paradigma atau perspektif tertentu dan ada komunitas ilmuwan yang mengakui atau mendukung paradigma tersebut.
Banyak sejarawan dan filosof sains masa kini menekankan bahwa serangkaian fenomena atau realitas yang dipilih untuk dipelajari oleh kelompok ilmiah tertentu ditentukan oleh pandangan tertentu tentang realitas yang telah diterima secara apriori oleh kelompok tersebut. Pandangan apriori ini disebut paradigma oeh Kuhn dan world view oleh Sardar. Paradigma ialah apa yang dimiliki bersama oleh anggota-anggota suatu masyarakat sains atau dengan kata lain masyarakat sains adalah orang-orang yang memiliki suatu paradigma bersama.
Masyarakat sains bisa mencapai konsensus yang kokoh karena adanya paradigma. Sebagai konstelasi komitmen kelompok, paradigma merupakan nilai-nilai bersama yang bisa menjadi determinan penting dari perilaku kelompok meskipun tidak semua anggota kelompok menerapkannya dengan cara yang sama. Paradigma juga menunjukkan keanekaragaman individual dalam penerapan nilai-nilai bersama yang bisa melayani fungsi-fungsi esensial ilmu pengetahuan. Paradigma berfungsi sebagai keputusan yuridiktif yang diterima dalam hukum tak tertulis.
Pengujian suatu paradigma terjadi setelah adanya kegagalan berlarut-larut dalam memecahkan masalah yang menimbulkan krisis. Pengujian ini adalah bagian dari kompetisi di antara dua paradigma yang bersaingan dalam memperebutkan kesetiaan masyarakat sains. Falsifikasi terhadap suatu paradigma akan menyebabkan suatu teori yang telah mapan ditolak karena hasilnya negatif. Teori baru yang memenangkan kompetisi akan mengalami verifikasi. Proses verifikasi-falsifikasi memiliki kebaikan yang sangat mirip dengan kebenaran dan memungkinkan adanya penjelasan tentang kesesuaian atau ketidaksesuaian antara fakta dan teori.
Pengalih kesetiaan dari paradigma lama ke paradigma baru adalah pengalaman konversi yang tidak dapat dipaksakan. Adanya perdebatan antar paradigma bukan mengenai kemampuan relatif suatu paradigma dalam memecahkan masalah, tetapi paradigma mana yang pada masa mendatang dapat menjadi pedoman riset untuk memecahkan berbagai masalah secara tuntas. Adanya jaringan yang kuat dari para ilmuwan sebagai peneliti konseptual, teori, instrumen, dan metodologi merupakan sumber utama yang menghubungkan ilmu pengetahuan dengan pemecahan berbagai masalah.




DAFTAR PUSTAKA

Awing, A.C., The Fundamental Questions of Philosophy, London: Routledge and Kegan Paul, 1951.
Burhanuddin Salam, Pengantar Filsafat, Jakarta: Bumi Aksara, cet. iii, 1995.
Butler, J. Donald, Four Philosophies and Their Practice in Education and Religion, New York: Horper and Brothers, 1951.
Harun Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat  Barat II, Yogyakarta: Kanisius, 1980.
http://one.indoskripsi.com/judul-skripsi-makalah-tentang/teori-ilmu
Inu kencana Syafi’i, Filsafat kehidupan (Prakata), Jakarta: Bumi Aksara, 1995.
I.R. Poedjawijatna, Tahu dan Pengetahuan, Pengantar ke IImu dan Filsafat, Jakarta: Bina Aksara. 1987.
Jujun S. Sumiasumantri (ed), Ilmu dalam Prespektif, Jakarta: Gramedia, cet. 6, 1985.
———-, Filsafat Ilmu,Sebuah Pengantar Populer, Jakarata: Pustaka Sinar harapan, 1990.
Kneller, George F., Movement of Thought in Modern Education, New York: John Witey and Sound, 1984
Koento Wibisono, Arti Perkemabangan Menurut Filsafat Positivisme Auguste Comte, Yogyakarta: Gadjah Mada Univercity Press, cet. ke 2, 1982.
———–, Hubungan Filsafat, Ilmu Pengetahuan dan Budaya, makalah Pengantar kuliah Filsafat Ilmu, (t.t., t.tp.).
Rapar, Jan Hendrik, Pengantar Filsafat, Yogyakarta: kanisius, 1996
Richard Pratte, Conteporary Theories of Education, Scranton, N. J: Intext International Publisher, 1977.
Titus, Harold H., dkk., Living Issues in Philasophy, Terj. H. M. Rasyidi,  Persoalan-Persoalan Filsafat, Jakarta: Bulan Bintang, 1987.

2 komentar:

ini bs buat referensi gan,.. ^_^
www.penerbitindieraya.wordpress.com/2012/07/14/paradigma-kebenaran-cara-memahami-kebenaran-sesungguhnya/

Plato pernah berkata: “Apakah kebenaran itu?
yg dimaksud bukan "kebenaran" >< ketidak-benaran / salah,
tp yg dimaksud adalah persesuaian "pernyataan" dengan "fakta"...

Posting Komentar

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More