Rabu, 01 Juni 2011

Usul Fiqh : Naskh

 Usul Fiqh : Naskh
Oleh : Zainur Rahman

A.    Pengertian Naskh
Secara bahasa naskh mengangdung dua pengertian. Pertama, Naskh berarti penghapusan atau peniadaan (izalah). Kedua, naskh berarti pemindaan (naql) dari suatu keadaan kepada keadaan lain. Secara istilah, ada dua definisi naskh yang dikemukakan para ahli ushul fiqh. [1] Definisi pertama sebagaimana berikut:
النسخ هو بيا ن انتهاء أمدكم بط شرعي مترخ عنه
Artinya: Naskh adalah penjelasan berakhirnya masa berlakunya suatu hukum melalui dalil syara’ yang kemudian datang.
Definisi kedua[2] dapat diamati dari rumusan berikut:
النسخ هو رفع حكم شرعي بدليل شرعي متأخر منه
Artinya: Naskh adalah pembatalan hukum syara’ yang telah ditetapkan terdahulu dengan dalil syara yang datang kemudian.
Maka dari kedua definisi diatas dapat diambil kesimpulan bahwa, pertama naskh atau pembatalan itu dilakukan dengan khitab atau tuntutan Allah Swt. maka naskh tidak dapat dilakukan oleh selain Allah. Kedua, hukum yang dibatalkan lebih dahulu datangnya daripada hukum yang yang membatalkan.

B.     Rukun Naskh
Melalui definisi naskh terdahulu diketahui ada empat rukun naskh, yaitu:[3]
1.      Adat an-Naskh, yaitu ungkapan yang menunjukan pembatalan berlakunya hukum yang terdahulu.
2.      Nasikh, yaitu Allah Swt. karena Ialah yang berhak menetapkan dan membatalkan hukum.
3.      Mansukh, yaitu hukum yang dibatalkan, dihapuskan atau dipindahkan.
4.      Mansukh Anhu, yaitu orang yang dibebani taklif atau hukum.

C.    Perbedaan Naskh dan Takhsish
Dari satu sisi, naskh dan takhsish memiliki persamaan dan dari sisi lain keduanya terdapat perbedaan. Persamaan antara naskh dan takshsish dapat diamati dari fungsi keduanya. Takhsish berfungsi mengkhususkan keumuman suatu lafadz dan menjadikannya hukum yang bersifat umum hanya meliputi sebagian satuannya. Sedangkan naskh membatalkan hukum yang bersifat umum dengan meninggalkan sebagian satuannya dan menjadikan sebagian hukum tersebut tetap berlaku.
Perbedaan antara keduanya dapat dilihat dari pernyataan berikut. Dalam kaitannya dengan naskh, suatu hukum sejak mula mencakup semua afrad atau satuannya, lalu sebagian hukum tersebut dibatalkan dengan dalil yang datang kemudian. Sedangkan dengan takshsish, bahwa hukum yang bersifat umum sejak semula ditujukan hanya meliputi sebagian satuannya.[4]

D.    Syarat syarat Naskh
Jumhur Ulama menyatakan beberapa syarat terjadinya naskh sebagai berikut:[5]
1.                Bahwa yang dibatalkan itu merupakan sesuatu yang dapat menerima pembatalan
2.                Bahwa yang dibatalkan tersebut adalah hukum syara’
3.                Pembatalan itu datang dari khitab (tuntutan) syara’
4.                Bahwa yang membatalkan terpisah dan datang kemudian dari yang dibatalkan
5.                Bahwa yang membatalkan sama kuatnya atau lebih kuat dari yang membatalkan
6.                Bahwa yang dibatalkan tidak terkait dengan waktu tertentu

E.     Macam-macam Naskh
Pada dasarnya yang membatalkan harus lebih kuat dari yang dibatalkan. Atas dasar ini, para ulama sepakat boleh naskh al-quran dengan al-quran, sunnah mutawattir dengan sunnah mutawattir, khabar ahad dengan khabar ahad dan khabar mutawattir. Sebagian ulama membolehkan naskh mutawattir dengan ahad, namun Imam Syafi’I tidak setuju dengan pendapat tersebut. Untuk itu, ia tidak mengakui adanya naskh al-Quran dengan sunnah atau sunnah dengan al-Quran. Begitu pula ulama tidak mengakui adanya naskh ijma’ dengan ijma’, al-Quran dan Sunnah dengan Qiyas.

1.                   Naskh Al-Quran dengan Al-Quran[6]
Semisal dalam permasalahan iddah wanita yang ditinggal mati sauami selama setahun penuh pada surat al-Baqarah, 240 berikut ini:
Artinya:“dan orang-orang yang akan meninggal dunia di antara kamu dan meninggalkan isteri, hendaklah Berwasiat untuk isteri-isterinya, (yaitu) diberi nafkah hingga setahun lamanya dan tidak disuruh pindah (dari rumahnya). akan tetapi jika mereka pindah (sendiri), Maka tidak ada dosa bagimu (wali atau waris dari yang meninggal) membiarkan mereka berbuat yang ma'ruf terhadap diri mereka. dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS. Al-Baqarah: 240)

Ayat ini dibatalkan hukumnya oleh Allah Swt dalam surat al-Baqarah, 234 berikut:
Artinya: “orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan isteri-isteri (hendaklah Para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber'iddah) empat bulan sepuluh hari. kemudian apabila telah habis 'iddahnya, Maka tiada dosa bagimu (para wali) membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka menurut yang patut. Allah mengetahui apa yang kamu perbuat.” (QS. al-Baqarah: 234)

2.      Naskh Sunnah dengan Sunnah[7]
Semisal larangan nabi kepada Ummat Islam menziarahi kubur yang kemudian dibatalkan melalui hadits yang sama, yaitu:
كنت نهيتكم عن زيارة القبور ألا فزورها
Artinya: “aku melarang kamu menziarahi kubur, sekarang ziarahilah kubur.” (HR. Muslim)
3.      Naskh Sunnah dengan Al-Quran[8]
Jumhur Ulama termasuk didalamnya Zahiriyyah membolehkan adanya naskh Sunnah dengan Al-Quran, sebagaimana dalam firman Allah dalam surat al-Baqarah, 144:
Artinya: “sungguh Kami (sering) melihat mukamu menengadah ke langit, Maka sungguh Kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai. Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram. dan dimana saja kamu berada, Palingkanlah mukamu ke arahnya. dan Sesungguhnya orang-orang (Yahudi dan Nasrani) yang diberi Al kitab (Taurat dan Injil) memang mengetahui, bahwa berpaling ke Masjidil Haram itu adalah benar dari Tuhannya; dan Allah sekali-kali tidak lengah dari apa yang mereka kerjakan.” (QS. al-Baqarah: 144)
Ayat ini membatalkan hukum yang telah ditetapkan Sunnah, yaitu menghadap ke Baitul Maqdis dalam melaksanakan Sholat.
Imam Syafi’I berpendapat tidak boleh membatalkan Sunnah dengan al-Quran. Ia berpegang pada firman Allah Swt. dalam surat an-Nahl berikut:

Artinya: “dan Kami turunkan kepadamu Al Quran, agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan.” (QS. an-Nahl: 44)
Melalui kandungan ayat ini diketahui bahwa sunnah berfungsi sebagai penjelas terhadap al-Quran, maka fungsi sunnah sebagai penjelas terhadap al-Quran tidak terwujud. Hal ini tidak logis dan tidak dapat diterima.
4.      Naskh Al-Quran dengan Sunnah[9]
Jumhur Ulama termasuk didalamnya Ibnu Hazm menerima adanya naskh Al-Quran dengan Sunnah. Sebagaimana dibatalkannya ayat-ayat tentang wasiat terhadap kedua orang tua dan karib kerabat dengan hadits Nabi Saw. Berikut:
ألالاوصية لوارث
Artinya: “ketahuilah tidak boleh berwasiat terhadap ahli waris.”
5.      Naskh tehadap dalil-dalil lain selain al-nushush (al-Quran dan As-Sunnah)[10]
a.       Naskh Ijma’
Jumhur Ulama berpendapat bahwa ijma tidak dapat dinaskhkan bahkan ijma’ tidak terkait sama sekali dengan naskh. Naskh tidak dapat membatalkan ijma’ karena ijma’ baru terwujud setelah wafatnya Nabi Saw. Sementara naaskh tidak terjadi setelah wafatnya Nabi.
b.      Naskh Qiyas
Jumhur Ulama termasuk didalamnya pengikut madzhab Zahiri dan mayoritas pengikut madzhab Syafi’I berpendapat bahwa Qiyas tidak dapat menjadi Naskh (yang membatalkan) atau Mansukh (yang dibatalkan) sesudah wafatnya Nabi Saw.

F.     Bentuk bentuk Naskh
Dalam kajian Ushul Fiqh, ada beberapa bentuk naskh, diantaranya:[11]
1.      Naskh bacaan dan hukum sekaligus
Menurut al-Amidi, para ulama membolehkan naskh tilawah tanpa naskh hukumnya atau sebaliknya, atau keduanya sekaligus. Alasan mereka membolehkan naskh tilawah dan hukum sekaligus dengan dibatalkannya suhuf Ibrahim dan nabi nabi sebelumnya, seperti disebutkan dalam firman Allah Swt dalam surat al-A’la, 18:
Artinya: “Sesungguhnya ini benar-benar terdapat dalam Kitab-Kitab yang dahulu, (yaitu) Kitab-Kitab Ibrahim dan Musa.” (QS. al-A’la: 18-19)
Apa yang terkandung dalam ayat ini dipertegas kembali dalam firman Allah dalam surat al-Syuara’, 196:
Artinya: “dan Sesungguhnya Al Quran itu benar-benar (tersebut) dalam Kitab-Kitab orang yang dahulu.” (QS. al-Syuara’: 196)
Dengan demikian, bahwa suhuf suhuf yang diturunkan kepada para Nabi terdahulu tidak ada yang sampai kepada kita bacaan dan kandungannya. Ini menunjukkan bahwa telah dibatalkannya bacaan dan hukum dari suhuf suhuf tersebut.
2.      Naskh hukum tetapi bacaan tetap ada
Jumhur Ulama membolehkan naskh hukum suatu ayat, tetapi tilawahnya masih ada. Misalnya batalnya hukum menunggu bagi wanita yang kematian suaminya selama setahun pada al-Baqarah ayat 240 dengan empat bulan sepuluh hari pada surat al-Baqarah, ayat 234.
3.      Naskh bacaan tatapi hukum tetap ada
Jumhur Ulama berpendapat boleh terjadinya naskh tilawah, tetapi hukum tetap ada dan berlaku. Misalnya, qira’at syadz yang dikemukakan kalangan ulama Hanafiyyah dalam masalah kaffarat sumpah yang terdapat dalam firman Allah surat al-Maidah, ayat 89 berikut:
Artinya: “barang siapa tidak sanggup melakukan yang demikian, Maka kaffaratnya puasa selama tiga hari. yang demikian itu adalah kaffarat sumpah-sumpahmu bila kamu bersumpah (dan kamu langgar). dan jagalah sumpahmu. Demikianlah Allah menerangkan kepadamu hukum-hukum-Nya agar kamu bersyukur (kepada-Nya).” (QS. al-Maidah: 89)
Setelah lafadz fashiyam, terdapat bacaan mutatabiaat yangmana masih digunakan hingga masa Abu Hanifah. Namun, bacaan tersebut dibatalkan sehingga dalam ayat tersebut tidak terdapat lagi lafadz mutatabiaat. Meskipun kata ini dibatalkan, tetapi hukumnya tetap berlaku. Demikian menurut pendapat madzhab Hanafiyah.
4.      Naskh perkataan dan perbuatan dalam sunnah
Menurut Imam Syafi’I dan Ibnu Uqail dari madzhab Hanbali bahwa sesuatu yang dibatalkan mesti sama kekuatan yang membatalkan atau lebih kuat dari yang dibatalkan. Perkataan Nabi Saw. Lebih kuat dari perbuatannya, maka perkataan itu harus dibatalkan dengan perkataan juga. Demikian perbuatan nabi, tidak dapat dibatalkan kecuali dengan perbuatannya.
Namun, Jumhur Ulama menegaskan perbuatan nabi Saw. Dapat dibatalkan dengan perkataannya, begitu sebaliknya. Sebagaimana dalam sebuah hadits nabi menjelaskan sanksi bagi pencuri yang melakukan pencurian untuk kelima kalinya:
فاءن عاد في الخامسة فا قتلوها
Artinya: “jika ia kembali untuk mencuri untuk kelima kalinya, maka hendaklah ia dibunuh.” (HR. Abu Daud)
Namun dalam kenyataannya ketika nabi dihadapkan dengan seorang yang telah mencuri sebanyak lima kali dan sebelumnya telah mendapat hukuman untuk setiap pencurian yang dilakukannya, ternyata beliau tidak membunuh orang tersebut. Sikap Nabi yang demikian dipandang sebagai nasikh atau yang membatalkan terhadap pernyataannya dalam hadits diatas.

G.    Cara mengetahui Naskh
Untuk mengetahui adanya naskh, ada beberapa petunjuk yang dapat dipakai, yaitu:[12]
1.      Nash Al-Quran yang secara lahir menjelaskan bahwa yang satu sebagai nasikh terhadap nash lain. Misalnya firman Allah surat al-Anfal, 66:
Artinya: “sekarang Allah telah meringankan kepadamu dan Dia telah mengetahui bahwa padamu ada kelemahan. Maka jika ada diantaramu seratus orang yang sabar, niscaya mereka akan dapat mengalahkan dua ratus orang kafir; dan jika diantaramu ada seribu orang (yang sabar), niscaya mereka akan dapat mengalahkan dua ribu orang, dengan seizin Allah. dan Allah beserta orang-orang yang sabar.” (QS. al-Anfal: 66)
Ayat ini membatalkan surat al-Anfal ayat 65 sebagai berikut:
Artinya: “jika ada dua puluh orang yang sabar diantaramu, niscaya mereka akan dapat mengalahkan dua ratus orang musuh.” (QS. Al-Anfal: 65)
2.      Perkataan dan perbuatan nabi secara jelas menunjukkan terjadinya naskh. Misalnya, larangan nabi kepada Ummat Islam menziarahi kubur, tatapi kemudian Ia membolehkannya.
3.      Ijma’ Sahabat yang menegaskan suatu dalil menjadi nasikh atau membatalkan dan dalil lain telah dimansukh atau telah dibatalkan. Misalnya, dibatalkannya puasa Asyura dengan kewajiban melaksanakan puasa ramadlan.
4.      Pemberitaan dari sahabat bahwa salah satu dari hukum lebih dahulu turun dan yang lain datang kemudian. Misalnya, pernyataan sahabat bahwa ayat ini diturunkan sesudah ayat ini, hadits yang disampaikan fulan diucapkan Nabi Saw. Pada saat perang Badar dan hadits ini disampaikan Nabi pada perang Uhud.
5.      Pemberitaan sahabat bahwa salah satu dari dua hukum ini adalah hukum syara’, sedangkan yang lain adalah hukum yang didasarkan pada adat sebelum Islam. Dengan demikian, hukum syara’ membatalkan hukum yang sebelumnya.

H.    Argumen Penentang Naskh
Dalam kitabnya al-itqan fi ulumil Quran, Imam As-Syuyuthi mengklaim terdapat dua puluh satu contoh naskh dalam al-Quran, tetapi Syah Wali Allah (w.1762) Hanya mengakui lima dari dua puluh satu kasus milik as-Syutuhi sebagai naskh yang sesungguhnya dan sisanya dapat dikompromikan. Sebaliknya Abu Muslim Al-Asfahani (w.934) mengingkari adanya naskh dalam al-Quran. Sekalipun demikian, Jumhur Ulama mengakui adanya naskh dalam Al-Quran atas dasar otoritas al-Quran sendiri. Inilah kesimpulan yang ditarik para ulama dari ayat ayat al-Quran yang relevan. Namun, perlu dikemukakan bahwa argumen sanggahan juga didasarkan pada ayat al-Quran yang sama yang dikutip untuk mendukung naskh. Dua ayat tersebut pada surah al-Baqarah ayat 101 (ma nansakh mi ayatin aw nunsikha na’ti bi khairin minha aw misliha) dan Pada Surat yang lain dalam surah an-Nahl, 106 (wa iza baddalna ayatan ma kana ayatin wallahu a’lamu bina yunazzil).
Bagi beberapa mufassir, kata ayat dalam ayat ini tidak berarti al-Quran, tetapi menunjuk kepada kitab suci sebelumnya, termasuk taurat dan injil. Penafsiran seperti ini tentu saja tidak relevan dengan keberadaan naskh dalam al-Quran. Abu Muslim Al-Asfahani menyatakan bahwa seluruh contoh naskh dalam al-Quran tidak lain merupakan bentuk kualifikasi dan takshsish.
Dalam bukunya the islamic theory of international relation: new direction for islamic methodology and thought (semula merupakan disertasi doktor), Abdul Hamid Abu sulaiman mengkritik pendekatan klasik naskh serta menyerukan pemahaman baru dan komprehensif tentang tekhnik naskh secara sistematik konseptual, dengan tidak menggunakan legalitis agama. Ia beranggapan pentingnya untuk meletakkan konsep naskh pada konteks yang tepat dan membatasi pada penerapannya hanya kepada kasus kasus yang jelas, seperti perubahan arah kiblat dari jerussalem ke ka’bah. Mengenai bagian bagian lainnya, ketentuan ketentuan dan ajaran ajaran al-Quran adalah valid dan bisa diterapkan dalam kombinasi kombinasi yang tidak terbatas apabila ketentuan itu sesuai dengan kebutuhan ummat dalam kerangka nilai dan tujuan yang dijunjung tinggi oleh al-Quran dan Sunnah.


[1] Wahbah Zuhaili, al-Ushul al-Fiqh al-Islami, beirut: Dar al-Fikr, 2001. Hal 961-962
[2] Abdul Karim Zaidan, al-Wajiz fi Ushul al-Fiqh, Baghdad: Dar al-Arabiyyah littiba’ah. 1971. Hal 388
[3] Zuhaili, Ibid. Hal 963-964
[4] Zaidan, Ibid. Hal 389
[5] Zuhaili, Ibid. Hal 981
[6] Ibid. Hal 992
[7] Ibid. Hal 995
[8] Ibid. Hal 997
[9] Ibid. Hal 999
[10] Ibid. Hal 1001-1005
[11] Ibid. Hal 1007-1008
[12] Ibid. Hal 1023

0 komentar:

Posting Komentar

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More