Selasa, 15 November 2011

Taswuf Al-Ghazali


TASAWUF AL-GAHZALI
Oleh : Zainur Rahman
BAB I
Pendahuluan
A.    Latar Belakang
Tasawuf sebagai salah satu ilmu esoterik islam memang selalu menarik untuk diperbincangkan. Terlebih pada saat ini dimana masyarakat seakan dikatakan mengalami kekeringan spiritual sehingga tasawuf dianggaap sebagai satu obat ampuh untuk mengobati kehampaan tersebut.
Terlepas dari banyaknya pro dan kontra seputar asal mula munculnya tasawuf harus kita akui bahwa nilai-nilai tasawuf memang sudah ada sejak zaman Rasulullah SAW. Setidaknya tasawuf pada saat itu terlihat secara konseptual dari tingkah laku nabi yang pada akhirnya kita namakan dengan nilai-nilai sufi seperti sikap zuhud, sabar, qona’ah, rendah hati, dan lain sebagainya. Hal tersebut sangatlah wajar karena misi terpenting nabi adalah untuk memperbaiki dan sekaligus meyempurnakan akhlak masyarakat arab dulu. Seperti termaktub dalam hadits “innama buitstu li utammima makarima al-akhlak” (sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak).
Dalam islam tasawuf digambarkan sebagai salah satu aspek dari segi tiga yang sangat berhubungan erat. Segi tiga itu yaitu pertama: Islam, sebagai aspek ‘amali yang meliputi ritual-ritual ibadah dan muamalah yang pada perkembangannya lebih akrab disebut dengan syari’ah. Kedua: Iman, sebagai aspek i’tiqodi yang termasuk didalamnya iman kepada Allah, malaikat-malaikatNya, kitab-kitabNya, utusan-utusanNya, hari ahir dan takdirNya. Ketiga: Ihsan, sebagai aspek al-ruhi yaitu aspek kejiwaan. Di dalam aspek kejiwaan inilah terkandung banyak sekali maqam atau sifat-sifat yang nantinya akan disebut dengan istilah tasawuf atau hakikat.
Diantara salah satu tokoh tasawuf islam yang sangat terkenal adalah Muhammad ibn Muhammad ibn Muhammad ibn Ahmad al-Thusi atau yang kita kenal dengan sebutan Imam Al-Ghazali. Beliau telah berhasil menggagas kaedah-kaedah tasawuf yang terkumpul dalam karya monumentalnya Ihya’ U’lum al-Din (The Revival of Religion Sciences). Karya al-Ghazali ini dianggap sebagai jembatan yang mendamaikan syari’at dengan tasawuf yang sempat mengalami clash pada zaman itu. Dalam sejarah Islam memang terkenal adanya pertentangan keras antara kaum syari'at dan kaum hakekat, gelar yang diberikan kepada kaum sufi. Pertentangan ini mereda setelah al-Ghazali datang dengan pengalamannya bahwa jalan sufilah yang dapat membawa orang kepada kebenaran yang menyakinkan. Lebih dalam lagi karya al-Ghazali dianggap sebagai cikal bakal dari tumbuhnya berbagai aliran tasawuf modern yang saat ini sedang banyak diminati oleh masyarakat.
Ada banyak komentar yang datang kepada al-Ghazali mulai dari kelompok yang memuji-muji karya dan pemikirannya hingga kelompok yang mencaci maki dan menganggap al-Ghazali sebagai tokoh yang harus bertanggung jawab atas kemunduran islam.
Maka dari latar belakang demikian, penulis sangat antusias kepada pembahasan ini. Karena ingin mengetahui Seperti apa sebenarnya pemikiran tasawuf al-Ghazali sehingga ia begitu banyak menjadi perhatian para ulama’ dan menjadi lahan subur bagi para akademisi yang ingin menyelami pemikirannya, makalah ini akan mencoba membuka dan menelaah sebagian pemikiran al-Ghazali dalam tasawuf.

B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimanakah sejarah kehidupan al-ghazali?
2.      Karya apa saja yang telah ditulis al-Ghazali?
3.      Bermadzhab kepada siapa al-Ghazali?
4.      Bagaimanakah tasawuf al-ghazali?
5.      Apa saja ajaran tasawuf al-Ghazali?

BAB II
PEMBAHASAN

A.    Sejarah Singkat Imam Al-Ghazali
Al-Ghazali nama lengkapnya adalah Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin Ahmad al-Ghazali. Ia lahir pada tahun 450 H bertepatan dengan 1059 M di Ghazaleh, suatu kota kecil yang terletak di Thus, wilayah Khurasan.[1]
Ayah Al-Ghazali adalah seorang pemintal kain wol miskin yang taat, menyenangi ulama, dan aktif menghadiri majlis-majlis pengajian. Ketika menjelang wafatnya, Ayahnya menitipkan Al-Ghazali dan adiknya yang bernama Ahmad kepada seorang temannya yg juga sufi. Ia menitipkan sedikit harta kepada seorang sufi itu, seraya berkata dalam wasiatnya:
“Sungguh saya menyesal tidak belajar khat (tulis menulis Arab) dan saya ingin memperbaiki apa yang telah saya alami pada kedua anak saya ini. Maka saya mohon engkau mengajarinya, dan harta yang saya tinggalkan boleh dihabiskan untuk keduanya.”
Setelah meninggal, maka Sufi tersebut mendidik dan mengajari keduanya ilmu antara tahun 465-470H, hingga habislah harta peninggalan yang sedikit tersebut. Kemudian dia meminta maaf tidak dapat melanjutkan wasiat orang tuanya dengan harta benda yang dimilikinya. Dia berkata:
“Ketahuilah oleh kalian berdua, saya telah membelanjakan untuk kalian dari harta kalian. Saya seorang fakir dan miskin yang tidak memiliki harta. Saya menganjurkan kalian berdua untuk masuk ke madrasah seolah-olah sebagai penuntut ilmu. Sehingga memperoleh makanan yang dapat membantu kalian berdua.”
Lalu keduanya melaksanakan anjuran tersebut. Inilah yang menjadi sebab kebahagiaan dan ketinggian mereka.
Imam Al Ghazali memulai belajar di kala masih kecil. beliau belajar juga ilmu Fiqh dan ilmu dasar yang lain kepada Ahmad Ar-Radzkani di kota Thus kemudian kepada Abu Nashr Al-Ismaili di Jurjan. Pada saat itu beliau berhasil menyusun buku At Ta’liqot. Kemudian beliau pulang ke Thus dan belajar kepada sufi Yusuf An-Nassaj (w. 487H).
Selanjutnya, Beliau berguru sekaligus menyambung hidupnya ke Naisabur dan Khurasan yang pada waktu itu kedua kota tersebut dikenal sebagai pusat ilmu pengetahuan terpenting di dunia Islam. Di kota Naisabur inilah al-Ghazali berguru di Madrasah Nizhamiyah kepada Imam al-Haramain Abi al-Ma’ali al-Juwainy, seorang ulama yang bermazhab Syafi‘i yang pada saat itu beliau menjadi guru besar di sana.[2]
Selama berada di Naisabur, Al-Ghazali tidak saja berguru kepada Al-Juwaini, tetapi juga mempergunakan waktunya untuk belajar teori-teori tasawuf kepada Yusuf an-Nasaj. Kemudian ia melakukan latihan dan praktik tasawuf sekalipun hal itu belum mendatangkan pengaruh yang berarti dalam langkah hidupnya.
Ilmu-ilmu yang didapatkannya dari Al-Juwaini benar-benar dikuasai oleh Al-Ghazali, termasuk perbedaan pendapat dari para ahli ilmu tersebut. Ia pun mampu memberikan sanggahan-sanggahan kepada para penentangnya. Karena kemahirannya dalam masalah ini Al-Juwaini menjuluki Al-Ghazali dengan sebutan Bahr Mu’riq (lautan yang menghanyutkan). Kecerdasan dan keluasan berpikir yang dimiliki Al-Ghazali menjadikannya semakin populer.[3]
Bahkan, ada riwayat yang menyebutkan bahwa secara diam-diam, dihati Imam Haramain timbul rasa iri yang mendorongnya untuk mengatakan:
“Engkau telah memudarkan ketenaranku padahal aku masih hidup, apakah aku mesti menahan diri padahal ketenaranku telah mati.”
Setelah imam Haramain wafat (478 H/ 1086 M), Al-Ghazali pergi ke Baghdad, yaitu kota tempat berkuasanya perdana menteri Nizham al-Muluk (w. 485 H/ 1091 M). Kota ini merupakan tempat berkumpul sekaligus tempat diselenggarakannya perdebatan antara ulama-ulama terkenal. Sebagai seorang yang menguasai retorika perdebatan, ia terpancing untuk melibatkan diri dalam perdebatan-perdebatan itu dan sering mengalahkan ulama-ulama ternama, sehingga mereka pun tidak segan-segan mengakui keunggulan Al-Ghazali.
Sejak itu nama Al-Ghazali menjadi termasyhur di kawasan kerajaan Saljuk. Kemasyhuran itu menyebabkan beliau dipilih oleh Nizham al-Muluk untuk menjadi guru besar di Universitas Nizhamiyah, Baghdad pada tahun 483 H/ 1090 M. Selain mengajar di Nizhamiyah, ia juga aktif mengadakan perdebatan dengan golongan-golongan yang berkembang pada saat itu.
Kegiatan perdebatan dan penyelaman berbagai aliran nyatanya tidak ada yang memberikan kepuasan bathin al-Ghazali bahkan menimbukan pergolakan dalam dirinya. Ia pun memutuskan untuk melepaskan jabatannya dan meninggalkan Baghdad menuju Syiria, Palestina, dan kemudian ke Mekah untuk mencari kebenaran. Setelah memperoleh kebenaran hakiki pada akhir hidupnya, maka tidak lama kemudian ia menghembuskan nafasnya yang terakhir di Thus pada tanggal 19 Desember 1111 M, atau pada hari Senin 14 Jumadil Akhir tahun 505 H, dengan meninggalkan banyak karya tulisnya.[4]

B.     Karya-Karya al-Ghazali[5]
Beliau seorang yang produktif menulis. Karya ilmiah beliau sangat banyak sekali. Beliau memulai menulis karya ilmiyah sejak usia 20 tahun. Di antara karyanya yang terkenal ialah:
Pertama, dalam masalah ushuluddin dan aqidah:
1.      Arba’in Fi Ushuliddin. Merupakan juz kedua dari kitab beliau Jawahirul Qur’an.
2.      Qawa’idul Aqa’id, yang beliau satukan dengan Ihya’ Ulumuddin pada jilid pertama.
3.      Al Iqtishad Fil I’tiqad.
4.      Tahafut Al Falasifah. Berisi bantahan beliau terhadap pendapat dan pemikiran para filosof dengan menggunakan kaidah mazhab Asy’ariyah.
5.      Faishal At Tafriqah Bainal Islam Wa Zanadiqah.
Kedua, dalam ilmu ushul, fikih, filsafat, manthiq dan tasawuf. beliau memiliki karya yang sangat banyak. Secara ringkas dapat dikutip yang terkenal, di antaranya:
1.      Al Mustashfa Min Ilmil Ushul.
2.      Mahakun Nadzar.
3.      Mi’yarul Ilmi
4.      Ma’ariful Aqliyah.
5.      Misykatul Anwar.
6.      Al Maqshad Al Asna Fi Syarhi Asma Allah Al Husna..
7.      Mizanul Amal.
8.      Al Madhmun Bihi Ala Ghairi Ahlihi
9.      Al Ajwibah Al Ghazaliyah Fil Masail Ukhrawiyah.
10.  Ma’arijul Qudsi fi Madariji Ma’rifati An Nafsi.
11.  Qanun At Ta’wil.
12.  Fadhaih Al Bathiniyah dan Al Qisthas Al Mustaqim
13.  Iljamul Awam An Ilmil Kalam.
14.  Raudhatuth Thalibin Wa Umdatus Salikin,
15.  Ar Risalah Alladuniyah.
16.  Ihya’ Ulumuddin.
17.  Al Munqidz Minad Dhalalah
18.  Al Wasith.
19.  Al Basith.
20.  Al Wajiz.
21.  Al Khulashah.
 
C.    Aqidah dan Madzhab Beliau
Dalam masalah fikih, beliau seorang yang bermazhab Syafi’i. Nampak dari karyanya Al Wasith, Al Basith dan Al Wajiz. Bahkan kitab beliau Al Wajiz termasuk buku induk dalam mazhab Syafi’i. Mendapat perhatian khusus dari para ulama Syafi’iyah. Imam Adz Dzahabi menjelaskan mazhab fikih beliau dengan pernyataannya, “Syaikh Imam, Hujjatul Islam, A’jubatuz zaman, Zainuddin Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin Muhammad bin Ahmad Ath Thusi Asy Syafi’i.”
Sedangkan dalam sisi akidah, beliau sudah terkenal dan masyhur sebagai seorang yang bermazhab Asy’ariyah. Banyak membela Asy’ariyah dalam membantah Bathiniyah, para filosof serta kelompok yang menyelisihi mazhabnya. Bahkan termasuk salah satu pilar dalam mazhab tersebut. Oleh karena itu beliau menamakan kitab aqidahnya yang terkenal dengan judul Al Iqtishad Fil I’tiqad. Tetapi karya beliau dalam aqidah dan cara pengambilan dalilnya, hanyalah merupakan ringkasan dari karya tokoh ulama Asy’ariyah sebelum beliau (pendahulunya). Tidak memberikan sesuatu yang baru dalam mazhab Asy’ariyah. Beliau hanya memaparkan dalam bentuk baru dan cara yang cukup mudah. Keterkenalan Imam Ghazali sebagai tokoh Asy’ariyah juga dibarengi dengan kesufiannya. Beliau menjadi patokan marhalah yang sangat penting menyatunya Sufiyah ke dalam Asy’ariyah.

D.    Al- Ghazali dan Tasawuf
Dalam tasawuf, apakah yang diyakini beliau? Memang agak sulit menentukan tasawuf beliau. Al-Ghazali tidak seperti halnya kebanyakan tokoh sufi lainnya. al-Ghazali melewati proses yang sangat panjang dan melelahkan dalam pencariannya akan kebenaran sejati. Bahkan sebelum ia menemukan tasawuf sebagai persinggahan terakhirnya ia sempat berkeliaran dalam berbagai macam aliran dan kelompok hanya untuk mencari kebenaran itu. Beliau mengingkari filsafat dalam kitab Tahafut, tetapi beliau sendiri menekuni filsafat dan menyetujuinya.
Ketika berbicara dengan Asy’ariyah tampaklah sebagai seorang Asy’ari tulen. Ketika berbicara tasawuf, dia menjadi sufi. Menunjukkan seringnya beliau berpindah-pindah dan tidak tetap dengan satu mazhab. Oleh karena itu Ibnu Rusyd mencelanya dengan mengatakan, “Beliau tidak berpegang teguh dengan satu mazhab saja dalam buku-bukunya. Akan tetapi beliau menjadi Asy’ari bersama Asy’ariyah, sufi bersama sufiyah dan filosof bersama filsafat.”[6]
Adapun orang yang menelaah kitab dan karya beliau seperti Misykatul Anwar, Al Ma’arif Aqliyah, Mizanul Amal, Ma’arijul Quds, Raudhatuthalibin, Al Maqshad Al Asna, Jawahirul Qur’an dan Al Madmun Bihi Ala Ghairi Ahlihi, akan mengetahui bahwa tasawuf beliau berbeda dengan tasawuf orang sebelumnya. Syaikh Dr. Abdurrahman bin Shalih Ali Mahmud menjelaskan tasawuf Al Ghazali dengan menyatakan, bahwa kunci mengenal kepribadian Al Ghazali ada dua perkara:
Pertama, pendapat beliau, bahwa setiap orang memiliki tiga aqidah. Yang pertama, ditampakkan di hadapan orang awam dan yang difanatikinya. Kedua, beredar dalam ta’lim dan ceramah. Ketiga, sesuatu yang dii’tiqadi seseorang dalam dirinya. Tidak ada yang mengetahui kecuali teman yang setara pengetahuannya. Bila demikian, Al Ghazali menyembunyikan sisi khusus dan rahasia dalam aqidahnya.
Kedua, mengumpulkan pendapat dan uraian singkat beliau yang selalu mengisyaratkan kerahasian akidahnya. Kemudian membandingkannya dengan pendapat para filosof saat beliau belum cenderung kepada filsafat Isyraqi dan tasawuf, seperti Ibnu Sina dan yang lainnya.[7]
Beliau (Syeikh Dr. Abdurrahman bin Shalih Ali Mahmud) menyimpulkan hasil penelitian dan pendapat para peneliti pemikiran Al Ghazali, bahwa tasawuf Al Ghazali dilandasi filsafat Isyraqi (Madzhab Isyraqi dalam filsafat ialah mazhab yang menyatukan pemikiran dan ajaran dalam agama-agama kuno, Yunani dan Parsi. Termasuk bagian dari filsafat Yunani dan Neo-Platoisme[8]. Sebenarnya inilah yang dikembangkan beliau akibat pengaruh karya-karya Ibnu Sina dan Ikhwanush Shafa. Demikian juga dijelaskan pentahqiq kitab Bughyatul Murtad dalam mukadimahnya. Setelah menyimpulkan bantahan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah terhadap beliau dengan mengatakan, “Bantahan Ibnu Taimiyah terhadap Al Ghazali didasarkan kejelasannya mengikuti filsafat dan terpengaruh dengan sekte Bathiniyah dalam menta’wil nash-nash, walaupun beliau membantah habis-habisan mereka, seperti dalam kitab Al Mustadzhiri. Ketika tujuan kitab ini (Bughyatul Murtad, pen) adalah untuk membantah orang yang berusaha menyatukan agama dan filsafat, maka Syaikhul Islam menjelaskan bentuk usaha tersebut pada Al Ghazali. Yang berusaha menafsirkan nash-nash dengan tafsir filsafat Isyraqi yang didasarkan atas ta’wil batin terhadap nash, sesuai dengan pokok-pokok ajaran ahli Isyraq (pengikut filsafat neo-platonisme).”[9]
Selain dari itu, al-Ghazali, sempat menuliskan kisah perjalannya tersebut dalam kitabnya Al Munqiz Min-a 'dl-Dlalal.
"Semenjak mudaku, sebelum aku menginjak usia dua puluh hingga saat ini, ketika aku telah menginjak usia lima puluh tahun, aku selalu mengarungi lautan yang dalam ini. Dengan segala keberanian, menelusuri seluruh segi, dan mempelajari akidah semua firqah, kemudian berusaha membuka rahasia mazhab semuah firqah itu. Agar aku dapat membedakan antara yang benar dengan yang salah, serta antara yang mengikuti sunnah dengan yang membuat bid'ah. Aku tidak memasuki kebatinan kecuali untuk mengetahui kebatinannya, tidak kaum zhahiri (literalis) kecuali agar aku mengetahui hasil kezhahirihannya, juga tidak filsafat kecuali aku hendak mengetahui hakikat filsafatnya, dan tidak kaum mutakallimin kecuali untuk mengetahui hasil akhir kalam dan debat mereka, tidak juga kaum sufi kecuali aku ingin mengetahui rahasia kesufiannya, dan tidak kaum ahli ibadah kecuali aku ingin mengetahui hasil dari ibadahnya, juga tidak kaum zindiq yang tidak mengikuti syari'at kecuali untuk menyelidiki mengapa mereka demikian berani berbuat seperti itu".[10]
Ketertarikan Al-Ghazali pada tasawuf tidak saja telah membuatnya memperoleh pencerahan dan ketenangan hati. Lebih jauh lagi, justru dia memiliki peran yang cukup signifikan dalam peta perkembangan tasawuf selanjutnya.
Jika pada awal pembentukannya tasawuf berupaya menenggelamkan diri pada Tuhan dimeriahkan dengan tokoh-tokohnya seperti Hasan Basri (khauf), Rabi`ah Al-Adawiyah (hub al-ilah), Abu Yazid Al-Busthami (fana`), Al-Hallaj (hulul), dan kemudian berkembang dengan munculnya tasawuf falsafi dengan tokoh-tokohnya Ibn Arabi (wahdat al-wujud), Ibn Sabi`in (ittihad), dan Ibn Faridl (cinta, fana', dan wahdat at-shuhud) yang mana mereka  menitikberatkan pada hakikat serta terkesan mengenyampingkan syariah. Kehadiran Al-Ghazali justru telah memberikan warna lain, dia telah mampu melakukan konsolidasi dalam memadukan ilmu kalam, fiqih, dan tasawuf yang sebelumnya terjadi ketegangan.[11]
Peran terpenting yang di pegang al-Ghazali terjadi pada abad ke lima hijriyah. Pada saat itu terjadi perubahan yang jauh oleh para sufi. Banyak dari mereka yang tenggelam dalam dunia kesufian dan meninggalkan syariat.[12]
Kampanye al-Ghazali dalam mengembalikan tasawuf pada jalan aslinya yaitu tidak menyimpang dari nash dan sunah Rasul telah membawa perubahan besar pada zamannya. Ia berpendapat bahwa seorang yang ingin terjun dalam dunia kesufian harus terlebih dahulu menguasai ilmu syariat. Karena praktek-praktek kesufian yang bertentangan dengan syariat islam tidak dapat dibenarkan. Menurut al-Ghazali tidak seharusnya antara syariat dan tasawuf terjadi pertentangan karena kedua ilmu ini saling melengkapi.
Dalam kitabnya Ihya’ Ulum al-Din al-Ghazali menjelaskan dengan detail hubungan antara syariat dengan tasawuf. Ia memberikan contoh praktek syariat yang kosong akan nilai tasawuf (hakikat) maka praktek itu tidak akan diterima oleh Allah dan menjadi sia-sia. Sebaliknya praktek tasawuf yang meninggalkan aturan syariat islam maka praktek itu akan mengarah pada bid’ah. Ibarat syariat adalah tubuh maka nilai-nilai tasawuf adalah jiwanya sehingga antara keduanya tidak dapat dipisahkan.[13]
Ihsan yang merupakan penjabaran dari konsep tasawuf selamanya tidak akan pernah bisa terlepas dari syariat itu sendiri. Konsep an ta’buda allah kaanaka tarahu adalah contoh paling mudah yang menggambarkan hubungan antara tasawuf dengan syariat. Praktek solat secara dhohirnya dengan rukun dan syarat-syaratnya merupakan aspek syariat yang diibaratkan sebagai tubuh (jasad). Sedangkan khusu’ (menghadirkan hati kepada Allah) merupakan aspek tasawuf yang diibaratkan sebagai hati atau ruh dari tubuh tersebut. Keduanya tentu tidak dapat dipisahkan dan bersifat saling melengkapi.[14]
Akhir kata, apa yang telah diupayakan Al-Ghazali dengan rumusan tasawufnya telah menandai satu titik puncaknya dengan keberhasilan gemilang yang telah diraihnya-selain Al-Qusyairi dan Al-Hawari-karena telah mengembalikan tasawuf pada landasan Al Quran dan hadits. Selain itu, Al-Ghazali juga telah menawarkan teori tasawuf baru (ma`rifat) sebagai pendekatan diri kepada Allah (taqarrub ila Allah) tanpa diikuti penyatuan dengan-Nya yang mana itu telah mempunyai pengaruh yang cukup besar terhadap perkembangan tasawuf sesudahnya, sehingga Al-Ghazali dikatakan seorang sufi yang bisa meredam perseteruan yang tidak harmonis antara ilmu kalam, fiqih, dan filsafat.
Tetapi perlu diketahui, bahwa pada akhir hayatnya, beliau kembali kepada ajaran Ahlusunnah Wal Jama’ah meninggalkan filsafat dan ilmu kalam, dengan menekuni Shahih Bukhari dan Muslim. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Penulis Jawahirul Qur’an (Al Ghazali, pen) karena banyak meneliti perkataan para filosof dan merujuk kepada mereka, sehingga banyak mencampur pendapatnya dengan perkataan mereka. Pun beliau menolak banyak hal yang bersesuaian dengan mereka. Beliau memastikan, bahwa perkataan filosof tidak memberikan ilmu dan keyakinan. Demikian juga halnya perkataan ahli kalam. Pada akhirnya beliau menyibukkan diri meneliti Shahih Bukhari dan Muslim hingga wafatnya dalam keadaan demikian.

E.     Ajaran Tasawuf Al-Ghazali
Corak tasawuf Al-Ghazali adalah psiko-moral yang mengutamakan pendidikan moral. Menurut Al-Ghazali, jalan menuju tasawuf dapat dicapai dengan cara mematahkan hambatan-hambatan jiwa serta membersihkan diri dari moral yang tercela, sehingga kalbu lepas dari segala sesuatu selain Allah dan selalu mengingat Allah. Ia berpendapat bahwa sosok sufi menempuh jalan kepada Allah, perjalanan hidup mereka adalah yang terbaik, jalan mereka adalah yang paling benar, dan moral mereka adalah yang paling bersih. Sebab, gerak dan diam mereka, baik lahir maupun batin, diambil dari cahaya kenabian. Selain cahaya kenabian di dunia ini tidak ada lagi cahaya yang lebih mampu memberi penerangan.
Al-Ghazali menilai negatif terhadap syathahat. Ia menganggap bahwa syathahat mempunyai dua kelemahan:
1)      Kurang memperhatikan amal lahiriah, hanya mengungkapkan kata-kata yang sulit dipahami, mengemukakan kesatuan dengan Tuhan, dan menyatakan bahwa Allah dapat disaksikan.
2)      Syathahat merupakan hasil pemikiran yang kacau dan hasil imajinasi sendiri. Dengan demikian, ia menolak tasawuf semi-filsafat meskipun ia bersedia memaafkan al-Hallaj dan Abu Yazid al-Busthami. Ungkapan-ungkapan yang ganjil itu telah menyebabkan orang-orang Nashrani keliru dalam menilai Tuhannya, seakan-akan ia berada pada diri Al-Masih.
Al-Ghazali sangat menolak paham hulul dan ittihad. Untuk itu ia menyodorkan paham baru tentang ma’rifat, yakni pendekatan diri kepada Allah (taqarrub illallah) tanpa diikuti penyatuan dengan-Nya. Jalan menuju ma’rifat adalah perpaduan ilmu dan amal, sedangkan buahnya adalah moralitas. Menurut Al-Ghazali sebagaimana dijelaskan oleh Harun Nasution, ma’rifat adalah mengetahui rahasia Allah dan mengetahui peraturan-peraturan Tuhan tentang segala yang ada.[15]
Di dalam kitab Ihya’ Ulumuddin (1961: 15), Al-Ghazali membedakan jalan pengetahuan untuk sampai kepada Tuhan bagi orang awam, ulama, dan orang arif (sufi). Ia membuat perumpamaan tentang keyakinan bahwa si fulan ada di dalam rumah, tanpa menyelidikinya lagi. Bagi ulama, keyakinan adanya si fulan di rumah dibangun atas dasar adanya tanda-tanda, seperti suaranya yang terdengar walaupun tidak kelihatan orangnya. Sementara orang arif (sufi) tidak hanya melihat tanda-tandanya melalui suara di balik dinding. Lebih jauh dari itu, ia pun memasuki rumah dan menyaksikan dengan mata kepalanya bahwa si fulan benar-benar berada di dalam rumah[16].
Ma’rifat seorang sufi tidak dihalangi oleh hijab, sebagaimana ia melihat si fulan ada di dalam rumah dengan mata kepalanya sendiri. Ringkasnya, ma’rifat menurut Al-Ghazali tidak seperti ma’rifat menurut orang awam maupun ma’rifat ulama mutakallim, tetapi ma’rifat sufi yang dibangun atas dasar dazuq rohani dan kasyf Ilahi. Ma’rifat semacam ini dapat dicapai oleh para khawash auliya’ tanpa melalui perantara atau langsung dari Allah sebagaimana ilmu kenabian yang diperoleh langsung dari Tuhan walaupun dari segi perolehan ilmu ini berbeda antara Nabi dan wali. Nabi mendapat ilmu Allah melalui perantara malaikat, sedangkan wali mendapat ilmu melalui ilham. Namun, keduanya sama-sama memperoleh ilmu dari Allah[17].
Menurut Al-Ghazali, kelezatan dan kebahagiaan yang paling tinggi adalah melihat Allah (ru’yatullah). Kenikmatan qalb, sebagai alat memperoleh ma’rifat, terletak ketika melihat Allah. Melihat Allah merupakan kenikmatan paling agung yang tiada taranya karena ma’rifat itu sendiri agung dan mulia. Oleh karena itu, kenikmatannya melebihi kenikmatan yang lainnya. Kelezatan dan kenikmatan dunia bergantung pada nafsu dan akan hilang setelah manusia mati, sedangkan kelezatan dan kenikmatan melihat Tuhan bergantung pada qalb dan tidak akan hilang walaupun manusia sudah mati. Hal ini karena qalb tidak ikut mati, malah kenikmatannya bertambah, karena dapat keluar dari kegelapan menuju cahaya terang[18].


BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin Ahmad al-Ghazali adalah sosok sufi yang berbeda dengan sufi yang lain. Beliau keturunan dari seorang sufi pemental kain wol yang taat dalam beribadah namun miskin. Meskipun demikian, al-ghazali tak pernah pupus harapan. Sehingga beliau mendapatkan ilmu yang banyak dan bermanfaat.
Dalam ilmu fiqh, Al-ghazali bermadzhab kepada imam syafi’I dan aqidahnya bermadzhab kepada asy’ariyah. Namun dalam tasawuf, beliau tidak terlalu jelas apa yang diikutinya.
Ajaran tasawuf, beliau menyodorkan paham baru yaitu ma’rifat. beliau menolak faham hulul dan ittihad. Beliau juga menilai negatif terhadap syathahat.

DAFTAR PUSTAKA
Abdul Qodir Isa. Haqoiq ‘an al- Tasawuf,
Al-Ghazali, Abu Hamid Muhammad bin Muhammad. 1961. Ihya’ Ulumuddin. Kairo: Mesir: Dar Tsaqafah Islamiyah.
___________.1988. Al Munqiz Min 'dl-Dlalal. dalam majmu'at rasail Imam Al Ghazali. cet. I. Beirut: Darul Kutub al Ilmiyyah.
___________.Thabaqat Asy Syafi’iyah. Jilid  VI
Al-Juhani, Mani’ bin Hamad. Al Mausu’ah Al Muyassarah Fi Al Adyan Wal Madzahibi Wal Ahzab Al Mu’ashirah. Jilid II.
Anwar, Rosihon dan Mukhtar Solihin. 2006. Ilmu Tasawuf. Bandung: Pustaka Setia.
Hilmi, Muhammad Musthafa. Al-Hayat al-Ruhiyah fi al-Islam.
Ibn Taimiyah. 1424. Bughyatul Murtad
Mahmud, Abdurrahman bin Shaleh Ali.  Ibnu Taimiyah Minal Asya’irah, jilid II.
Nasution, Harun. 1978. Mistikisme dalam Islam. Jakarta: Bulan Bintang.
Nata, Abuddin. 1997. Akhlak Tasawuf. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Syukur, Amin dan Masyharuddin. 2002. Intelektualisme Tasawuf: Studi Intelektualisme Tasawuf Al-Ghazali. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Ibn Taimiyah. 1424. Bughyatul Murtad



[1] Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta (1997)
[2] Harun Nasution. Mistikisme dalam Islam. (Jakarta: Bulan Bintang, 1978),  41
[3] Rosihon Anwar dan Mukhtar Solihin. Ilmu Tasawuf. (Bandung: Pustaka Setia, 2006), 110.
[4] Ibid, 110-111
[5]Abdurrahman bin Shaleh Ali Mahmud.  Ibnu Taimiyah Minal Asya’irah, jilid II, 623-625,
 Thabaqat Asy Syafi’iyah 6/203-204
[6] Ibn Taimiyah. 1424. Bughyatul Murtad. (Lihat Mukadimah kitab), 110
[7] Abdurrahman bin Shaleh Ali Mahmud.  Ibnu Taimiyah Minal Asya’irah, jilid II, 628.
[8] Mani’ bin Hamad Al Juhani. Al Mausu’ah Al Muyassarah Fi Al Adyan Wal Madzahibi Wal Ahzab Al Mu’ashirah. Jilid II, 928-929
[9] Ibn Taimiyah. 1424. Bughyatul Murtad (Lihat Mukadimah), hal. 111
[10] Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al Ghazali. Al Munqiz Min 'dl-Dlalal. dalam majmu'at rasail Imam Al Ghazali. cet. I. (Beirut: Darul Kutub al Ilmiyyah, 1409 H/1988 M),  24-25
[11]Amin Syukur dan Masyharuddin.  Intelektualisme Tasawuf: Studi Intelektualisme Tasawuf Al-Ghazali. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002) Cet. I.
[12] Muhammad Musthafa Hilmi. Al-Hayat al-Ruhiyah fi al-Islam, 124
[13]Abu Hamid Al-Ghazali. Ihya’ Ulumuddin. (Kairo: Mesir: Dar Tsaqafah Islamiyah, 1961),
[14]Abdul Qodir Isa. Haqoiq ‘an al- Tasawuf, 474
[15] Harun Nasution. Mistikisme dalam Islam, 78
[16] Al-Ghazali. Ihya’ Ulumuddin, 15
[17] Rosihon Anwar dan Mukhtar Solihin. Ilmu Tasawuf, 116
[18] Ibid, 116-117

0 komentar:

Posting Komentar

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More