Oleh : Zainur Rahman
I. Konsep
dan Perikatan Dalam Hukum Barat
A. Konsep
Perikatan
Dilihat dari segi sumbernya, perikatan
itu ada yang lahir dari undang-undang dan ada yang lahir dari perjanjian serta
sumber-sumber lain yang ditunjuk oleh undang-undang. Bagian hukum yang mengatur
berbagai perikatan yang lahir dari bermacam-macam sumber dinamakan hukum
perikatan (het verbintenissenrecht). Sedangkan hukum perjanjian (het
overeenkomstenrecht) adalah salah satu bagian dari hukum perikatan, yaitu
bagian hukum yang mengatur perikatan-perikatan yang lahir dari perjanjian saja.
Apabila dua orang atau pihak saling
berjanji untuk melakukan atau memberikan sesuatu berarti masing-masing orang
atau pihak mengikatkan diri kepada orang lain untuk melakukan atau memberikan
sesuatu yang mereka perjanjikan, dengan demikian timbul ikatan serta hak dan
kewajiban diantara keduanya. “Perikatan didefinisikan sebagai hubungan hukum
menyangkut harta kekayaan antara dua pihak berdasarkan mana salah satu pihak
dapat menuntut kepada pihak lain untuk memberikan, melakukan atau tidak
melakukan sesuatu.”
B Sumber-Sumber Perikatan
Sumber-sumber yang melahirkan
perikatan meliputi:
- perjanjian
- undang-undang saja, perikatan yang lahir dari undang-undang saja adalah perikatan yang kewajiban di dalamnya langsung diperintahkan oleh undang-undang seperti hak dan kewajiban yang timbul antara ayah dan anak dalam hal nafkah, dsb.
- undang-undang yang berkaitan dengan perbuatan orang, yang dibedakan menjadi :
·
perbuatan sesuai hukum (rechtmatige daad)
·
perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad)
II. Istilah dan Konsep Perikatan dalam Hukum Islam
Ada dua istilah yang terdapat dalam
Islam berkaitan dengan perikatan.
- Iltizam untuk menyebut perikatan (verbintenis).
Iltizam merupakan istilah baru untuk menyebut perikatan
secara umum. Semula iltizam digunakan untuk menunjukkan perikatan yang
timbul dari kehendak sepihak saja, hanya kadang-kadang saja dipakai untuk
perikatan yang timbul dari perjanjian. Sekarang ini iltizam digunakan
untuk menyebut perikatan secara keseluruhan. Pengertian iltizam dalam hukum
Islam adalah terisinya dzimmah (tanggungan) seseorang atau suatu pihak
dengan suatu hak yang wajib ditunaikannya kepada orang atau pihak lain. Menurut
Mustafa Az Zarqa mendefinisikan perikatan (iltizam) sebagai keadaan
dimana sesorang diwajibkan menurut hukkum syara’ untuk melakukan atau tidak
melakukan sesuatu bagi kepentingan orang lain.
- Akad untuk menyebut perjanjian (overeenkomst) dan kontrak (contract) yang merupakan istilah yang telah lama digunakan.
Ada dua orientasi hukum perikatan:
- orientasi yang bercirikan objektivisme, yaitu perikatan lebih dilihat dari sisi objeknya yang berupa hak dan kewajiban yang timbul dalam perikatan. Dalam hukum objektivisme penggantian subjek atau pemindahan hak-hak perikatan dari satu subjek ke lainnya dapat dilakukan dengan mudah, karena yang menjadi fokus adalah objeknya.
- orientasi yang bercirikan subjektivisme, yaitu perikatan lebih banyak dilihat pada segi hubungan antar subjek perikatan yaitu debitur dan kreditur dari segi objek perikatan itu sendiri. Konsekuensinya adalah jika terjadi perikatan antara dua pihak atau lebih, maka tidak dapat dilakukan penggantian dengan pihak lain.
III. Macam-Macam Perikatan dalam Hukum Islam
Dilihat dari kaitannya dengan objek
perikatan, secara garis besar ada empat macam perikatan:
- Perikatan Utang (al Iltizam bi ad Dain)
Kunci untuk memahami memahami konsep
utang dalam hukum Islam adalah bahwa utang dinyatakan sebagai suatu yang
terletak dalam dzimmah (tanggungan) sesorang. Sumber-sumber perikatan utang (al
Iltizam bi ad Dain) dalam hukum Islam adalah sebagai berikut: yang pertama
adalah akad, yang kedua adalah kehendak sepihak seperti wasiat, hibah, nazar
yang objeknya adalah sejumlah uang atau benda, dan yang ketiga adalah perbuatan
melawan hukum yaitu semua bentuk tanggungan (adh dhaman) yang timbul
dari selain akad, seperti pencurian, perusakan yang objeknya adalah barang. Sumber
yang keempat adalah pembayaran tanpa sebab, yang kelima adalah syara’ yaitu
ketentuan syariah yang menetapkan kewajiban-kewajiban untuk melakukan
pembayaran tertentu pada seseorang.
- Perikatan Benda (al Iltizam bi al ‘Ain)
Perikatan benda merupakan suatu
hubungan hukum yang objeknya adalah benda tertentu untuk dipindahmilikkan baik
bendanya, manfaatnya atau untuk diserahkan atau dititipkan kepada orang lain.
Sumber-sumber perikatan benda adalah akad dan ini merupakan sumber paling
penting dari perikatan benda, seperti jual beli atau sewa menyewa. Sumber
lainnya adalah kehendak sepihak seperti wasiat, dan perbuatan melawan hukum
juga dapat dijadikan sumber perikatan benda, seperti kasus gasab.
- Perikatan Kerja/ Melakukan Sesuatu (al Iltizam bi al ‘Amal)
Perikatan Kerja/ Melakukan Sesuatu (al
Iltizam bi al ‘Amal) adalah suatu hubungan hukum antara dua pihak untuk
melakukan sesuatu. Sumbernya adalah akad istisna’ dan ijarah.
Istisna’ adalah akad untuk melakukan sesuatu dimana bahan dan kerja dilakukan
oleh pihak kedua atau pembuat. Sedangkan ijarah merupakan suatu akad atas beban
yang objeknya adalah manfaat dan jasa. Akad ijarah ada dua yaitu ijarah al
manafi (sewa menyewa) dan ijarah al a’mal (perjanjian kerja).
- Perikatan Menjamin (al Itizam bi at Tautsiq)
Perikatan menjamin merupakan suatu
bentuk perikatan yang objeknya adalah menanggung (menjamin) suatu perikatan.
Maksudnya pihak ketiga mengikatkan diri untuk menanggung perikatan pihak kedua
terhadap pihak pertama.
Perikatan yang ditanggung ada tiga
macam, yaitu perikatan utang, perikatan benda dan perikatan orang yang
ditanggung dalam akad al kafalah bi an nafs.
IV. Sumber-Sumber Perikatan dalam Hukum Islam
Menurut para ahli hukum Islam modern,
sumber-sumber perikatan dalam Islam (masadir al iltizam) ada lima macam :
- akad (al ‘aqad), akad dalam hukum Islam merupakan sumber penting bagi perikatan.
- Kehendak sepihak (al iradah al munfaridah)
- Perbuatan merugikan (al fi’l adh dharr)
- Perbuatan bermanfaat (al fi’l an nafi’)
- Syara’
V. Dzimmah
dalam Hukum Perikatan Islam
Para ahli hukum Islam menyatakan bahwa
dzimmah adalah suatu wadah yang diandaikan adanya oleh hukum syariah
pada orang (person) dan yang menampung hak-hak serta
kewajiban-kewajiban.
Dzimmah pada orang mewujud selama ia hidup dan berakhir
dengan kematiannya. Para ahli hukum Islam berbeda pendapat tentang berakhirnya dzimmah
dengan kematian seseorang, apakah dzimmah-nya harus dihapus sama sekali
ketika ia meninggal dunia ataukah dzimmah itu masih bertahan beberapa waktu
setelah meninggalnya. Ahli-ahli hukum Hanafi berpendapat bahwa dzimmah
karena kematian seseorang tidak musnah sama sekali tetapi tidak pula bertahan
utuh, melainkan melemah atau rusak. Ahli hukum Maliki berpendapat bahwa dzimmah
musnah dengan kematian seseorang. Ahli hukum Syafi’i berpendapat bahwa dzimmah
tetap berlangsung utuh setelah meninggalnya seseorang sampai utang-utangnya
dibayar. Sedangkan menurut madzab Hambali, sebagian ahli hukumnya sejalan
dengan ahli hukum Maliki dan sebagian lagi sependapat dengan fukaha Syfi’iyah.
VI. ‘Ain dan Dain dalam Hukum
Perikatan Islam
‘Ain adalah suatu hak kebendaan yang terkait langsung
dengan benda tertentu, bukan benda lain. Dalam hukum Islam, ‘ain
disamping mencakup hak kebendaan dala pengertian hukum barat meliputi pula
hak-hak yang timbul dari perikatan yang objekya benda tertentu. Sedangkan dain
adalah hak-hak yang tdak dikaitkan langsung kepada benda atau sesuatu tertentu,
melainkan kepada sejumlah uang atau benda yang berada dalam tanggung jawab
pihak debitur.
Contoh: apabila seseorang mempunyai
koleksi sejumlah mata uang asing atau kuno, dan untuk keamanan ia menyerahkan
ke sebuah bank dengan maksud untuk disimpan dalam safety box sebagai
barang titipan yang pada suatu waktu akan diambil kembali fisik uangnya, maka
perikatan orang tersebut dengan bank dan hak pemilik uang atas uangnya tersebut
yang wajb dikembalikan fisiknya oleh bank adalah ‘ain. Akan tetapi jika
ia menyimpan uang di bank dalam bentuk deposito misal selama satu bulan, maka
haknya atas uang tersebut pada waktu jatuh tempo adalah dain.
Dari contoh diatas, maka dapat dtarik
kesimpulan bahwa keterkaitannya dengan dzimmah, dapat ditegaskan bahwa dain
adalah suatu yang hak yang objeknya sejumlah uang atau benda dan terkait
dengan dzimmah debitur. Sedangkan ‘ain adaah hak yang objeknya
adalah benda yang sudah ditentukan, bukan benda lainnya serta tidak terkait
kepada dzimmah.
0 komentar:
Posting Komentar